DANIEL’S POV
Dari sudut mataku, aku melihat Maddy menyetir mobilnya dengan mata menerawang. Sejak aku menceritakan kalau adiknya adalah cinta pertamaku – dia tidak mengeluarkan kata – kata apapun. Dahinya berkerut, tampak berpikir keras. Aku akan membayar berapapun untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkannya. Mata kebiruannya tampak sedih kemungkinan karena mengingat kembali masa lalu mereka. Maddy sudah menceritakan kalau aku adalah cinta pertama Mandy.
Tapi, jujur saja aku tidak merasakan apapun yang seharusnya kurasakan kalau aku memang mencintai Mandy. Tidak. Aku malah lebih khawatir dengan Maddy. Aku tahu, aku seharusnya gembira ketika mengetahui kalau cintaku ternyata selama tiga tahun ini terbalaskan atau sedih karena ternyata gadis kecilku telah meninggal. Tapi, yang kurasakan hanya khawatir dan takut. Aku takut Maddy akan menjauhiku ketika mengetahui identitas gadis kecilku.
Tapi, disamping kedua perasaan itu – aku juga lega karena telah menceritakan semuanya kepada Maddy. Aku mengingatkan diriku untuk berterima kasih kepada Aiden atas sarannya kepadaku. Menceritakan kepada Maddy memang sangat risikan tapi juga beban yang kutanggung sejak kemarin terasa menghilang. Sekarang, semuanya tergantung kepada Maddy – apakah dia masih ingin berhubungan denganku.
Tapi, aku teringat perkataan Nate untuk mengejar Maddy apapun yang terjadi. Selagi, Maddy masih berpikir apa yang akan dilakukan – aku harus membuatnya berpikiran kalau hubungan kami pasti akan bisa berjalan. Dan, seperti kata Cam – aku harus menurunkan egoku jika aku ingin mendapatkan perempuan terbaik yang muncul dalam hidupku.
Mobil Maddy berhenti tepat di depan rumahku. Dia menolak untuk menatapku dan berpura – pura jalanan di depan kami lebih menarik. Sekarang atau tidak sama sekali, Davis! “Maddy, kita harus berbicara.”
“Kita bisa berbicara besok. Aku memiliki urusan sehabis ini,” ujarnya masih tidak menatapku.
“Aku tidak memerlukan waktu lama,” bisikku.
“Kita bisa membicarakannya nanti, Daniel.”
“Maddy.”
“Sekarang bisakah kau turun dari mobilku?”
“Maddy!” bentakku marah. Aku meraup wajahnya dengan kedua tanganku, memaksanya untuk menatapku. Mataku membelak ketika melihat mata Maddy memerah dan mengeluarkan air mata.
"Apa yang harus kukatakan kepadamu, Davis?” tanyanya dengan marah. “Kalau beberapa jam yang lalu aku sudah bersiap berperang dengan gadis kecil dari masa lalumu untuk membuatmu melihatku” Mulutku terbuka ketika mendengar pernyataannya. “Kalau ternyata sainganku selama ini adalah adikku sendiri.” Nafas Maddy tampak pendek – pendek karena emosi dan tangisannya. “Atau aku harus membuat pengakuan kalau kau, Daniel Davis mampu membuatku…”
Aku buru – buru menutup mulutnya. Tidak, aku ingin menjadi orang pertama yang mengatakannya. “Aku menyukaimu Madeleine Autumn. Tidak, bukan menyukaimu – aku merasakan sesuatu yang tidak pernah kurasakan terhadap perempuan lain ataupun Mandy. Aku yakin seratus persen kalau aku jatuh cinta kepadamu sejak kau masuk ke kelas.”
Mata Maddy membelak. Dia berhenti menangis dan menatapku dengan terkejut, seperti perkataanku adalah sesuatu yang mengejutkannya. Aku terdiam menunggu jawabannya. Beberapa menit kemudian, Maddy menghapus air matanya dan menatapku dengan tatapan menilai.
“Aku tidak bisa Daniel. Aku tidak bisa mengkhianati adikku. Kau mendengarkan ceritaku bukan? Kalau dia juga mencintaimu,” ujarnya dengan suara bergetar.
Aku menghembuskan nafas panjang. Entah mengapa aku sama sekali tidak terkejut dengan jawaban Maddy. Tapi, jawaban perempuan disampingku anehnya tidak membuatku sedikitpun marah – oke mungkin sedikit kecewa, melainkan semakin mengaguminya. Dia tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Maddy adalah seseorang yang paling tidak egois yang pernah kutemui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Mind (FINISH)
Teen FictionMadeleine Autumn murid pindah baru harus berhadapan dengan Daniel Davis yang playboy. Jika suatu ketika kedua orang ini ditemukan secara tidak sengaja. Daniel menganggap Maddy menarik saat mereka bertemu pertama kali. Sedangkan Maddy menganggap Dani...