Bab 6

156 2 0
                                    

Bagaimana mungkin...?
Aku melupakan Harris...?
Ia adalah sahabat terbaikku
Bagian dari hari-hari
Yang tak terpisahkan
Dari kehidupanku...

Telah kulakukan kebodohan terbesar dalam hidupku dengan tak mengingatnya di setiap detik yang berlalu dalam lipatan waktu.

Dulu...
Ia dan aku tumbuh dewasa bersama.
Sepertinya, kami berada dalam lingkup ruang yang begitu sempit. Dimana aku ada di situlah ia berada. Seolah aku dan dirinya memang telah ditakdirkan bersama di kehidupan ini. Tak perduli pada kerasnya genta buruk yang berdengung. Rangkaian suara yang mengatakan bahwa kami adalah pasangan sejenis yang saling mengasihi. Aku dan dia terlihat begitu serasi. Keserasian yang begitu sempurna di setiap mata yang memandang iri pada kedekatan kami. Saling memperhatikan dan saling mengisi. Saling memberi dan selalu berbagi. Aku ingat, bagaimana rasa takut merenggut ketenanganku saat melihat dirinya cedera. Terluka sewaktu latihan basket ball. Tangannya terkilir, kulit kakinya terkoyak, darah mengalir dan aku menjadi begitu kuatir.

Meski latihan belum selesai, ku-kayuh tubuhnya ke tepi. Dengan sebotol aqua, kubersihkan lukanya. Dengan sapu tangan kubalut luka yang membuat darahnya mengalir. Begitu kuatir, hingga tak kusadari berpasang-pasang mata yang menilai lebih akan pemaknaan itu. Sebab aku sendiri memang tak pernah mengerti pada rasa yang bertumbuh dalam labirin dan genderang indahnya keremajaan kami. Aku hanya menganggap itu sebagai suatu persahabatan yang mengikat. Kurasa demikian juga dengan Harris, tak pernah ada rasa lain yang terselip dalam hatinya. Meski kami harus mengakui bahwa semua itu adalah kebohongan belaka.
Tersiksa, mungkin itulah kata yang tepat untuk kami simpan dalam kesamaan rasa.

Demikian juga dengan dirinya...
Harris akan selalu menjemputku di kelas saat tanda istirahat telah terdengung ke seluruh sudut sekolah. Lalu dengan bebas ia menggandeng punggungku, menyeret langkah kakiku untuk menikmati sore yang meruyup senja di kantin belakang. Menjelajahi setiap negeriku dari celah yang tak pernah kusadari keberadaannya.

Ia dan aku, selalu mengabaikan berpasang mata yang mengarah. Ia dan aku, tak pernah peduli pada bisik-bisik yang akan melemahkan kuatnya kebersamaan. Dan, sorot mata kami tetap saling menerjang, tetap menyimpan makna misterius yang tak terjamah. Sebuah makna yang tak pernah dapat kami buka kecemerlangannya, sehingga perasaan kami menjadi sebuah cahaya yang tertutup oleh kabut dari cahaya lain yang lebih gemerlap. Cahaya dari sebuah sinar cinta yang terlarang, begitu indah meski tak pernah kami sadari.

Sebuah mimpi...
Ternyata mampu memisahkan kami begitu jauh, berjarak tempat dan waktu yang demikian luas. Sebuah cita-cita, ternyata bisa menghambat rasa yang mengalir dalam kepahaman raga yang merintih.
Harris
Ingin menjadi seorang designer...
Dan kulepaskan seragam remajaku...
Untuk memasuki gerbang...
Fakultas Kedokteran...
Adalah dilema...
Yang membuat kami merasa saling kehilangan...

Harris berangkat ke Paris, satu-satunya dunia mode yang bisa memperluas wawasan untuk mewujudkan impian dan cita-citanya.
Kami sadari, perpisahan memang tak dapat ditunda.
Disini persahabatan diuji...
Disini hati merasa terjeruji...

Seminggu kemudian, kuterima layangan beritanya. Harris telah sampai di dunia mimpinya. Dalam suratnya, ia menceritakan tentang Eifel yang menjulang, tentang petualangannya, tentang tempat tinggalnya, tentang semua yang ia temukan di sana. Lalu dengan kejenakaan yang jauh menembus hati, ku-tari-kan penaku membentuk kalimat yang langsung melayang ke negerinya.
Tapi...
Itu hanya berlangsung dua tahun...
Lalu hubungan kami terputus...
Tanpa sebab...
Yang dapat ia mengerti...
Tanpa tahu gulita yang terpasung...
Di kelamnya duniaku...

*****

Harris terhenyak...
Matanya memandang ringkih pada getirnya ayunan langkah kakiku. Terseok-seok dan ia-pun seolah ingin merayap kedalamnya.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang