Bab 37

21 2 0
                                    

Dirinya mungkin tak'kan pernah mengira...

Sama sekali tak pernah mengira akan mengalami hal seperti ini, karena sejak kejadian itu, aku tak pernah kembali, pulang ke rumah seperti yang dinantikannya. Setiap malam ia terjaga. Setiap hari ia menunggu. Tapi tak pernah sekali pun kutampakan batang hidungku di hadapannya.

Telah tersimpan amarah yang sedemikian besar di hatiku. Amarah yang menggantung bulat tekadku menjadi semakin besar, menggelembung menjadi sebuah wadah yang berisikan tinta merah untuk mencoreti namanya dari kehidupanku. Padahal, sebelum Harris terjatuh, harus ku-akui, ada rasa kuatir yang membelit ruang senyapku saat bertemu pandang dengannya. Betapa takutnya, seperti tengah kusaksikan gerhana matahari yang dapat membutakan mata ini, hingga ku-harus menghindari tatapan itu sejauh-jauhnya.

Ini adalah sebuah tantangan perang yang harus segera kuselesaikan, walau sesungguhnya, tak sedikitpun ku-ingin melukai hatinya.

Sekarang, percuma saja ia menekan tombol-tombol angka yang begitu dihapalnya. Ponselku memang tidak pernah aktif, hanya meninggalkan suara rekaman operator yang memberitahukan bahwa nomorku sedang tidak dapat dihubungi. Demikian juga saat ia menghubungiku di kantor, percuma saja, aku sudah absent beberapa hari, tidak masuk kerja dengan mengajukan cuti yang tak diketahuinya.

Dan aku tahu...
Tentunya akan ada sebuah kepedihan...
Yang menusuki dasar kalbunya...

Tapi bagaimanapun juga, kuharap ia bisa menyadari, bila semua kejadian ini, ia-lah yang telah menaburnya hingga kini ia juga yang harus menuai apa yang telah diperbuatnya. Ia harus menyadari, bahwa dirinya telah lalai, mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri, menyia-nyiakan adaku hingga ku-biarkan orang lain masuk ke dalam ruang yang selama ini menjadi miliknya.

Dan, ia memang telah membiarkan Harris merebutnya, merampas sebagian hak yang telah ia miliki selama delapan tahun, meski harus kuakui bahwa Harris-lah yang lebih dahulu menempatinya, menduduki hatiku dengan tahta cintanya yang kurasakan begitu indah.

Tentunya ia sangat kecewa...

Kini, kubiarkan kekecewaan itu merambati dirinya, memasung resah dalam gelombang stress yang panjang. Terkoyak ditertawai angin, rapuh tanpa kekuatan dan tanpa kepedulian yang tersisa.

Satu sesak yang membuatnya sulit bernafas adalah ketika dilihatnya dengan penuh kemesraan ku-balas peluk dekap Harris yang begitu hangat. Tubuhnya bagaikan dihujani oleh ribuan ton batu yang terpasang pada jalan layang lingkar Jakarta. Tulang-tulangnya berderak, ingin berteriak tapi suaranya tersekat hingga tak ada sesuatupun yang mampu terurai.

Perasaannya saat itu bagaikan cahya mentari yang mewarnai merah di semesta. Seperti awan yang ternoda. Seperti lembayung yang merintih. Yang tak rela membiarkan matahari terusir dikalahkan sang malam. Serupa senja yang menyuarakan kesedihan, memandu kepiluan yang menjerit-jerit terluka.

Dan, dirinya hanya mematung, tergugu dan tertegun menyaksikan bagaimana paniknya aku membuka pintu pagar, mengeluarkan mobil dan mengangkat tubuh laki-laki kecintaanku ke dalamnya.

" Hans...?!" hanya suara Ita yang masih terdengar dengan jelas, berupaya meredam kepanikanku yang bermandikan keringat dan air mata.

Langkahku terhenti sebelum masuk ke dalam kendaraan. Ita menarik nafasnya.

" Maafkan kami..." ucapnya pelan.

Aku tak menyahut. Pintu mobil yang terbuka menjadi tempat lampiasan geramku yang memuncak, terbanting dengan sangat keras ketika aku menutupnya. Lalu kuhidupkan mesin.

Tapi, Ita masih berusaha untuk menghentikanku, tangannya mengetuk kaca. Kubuka jendela...

" Apalagi, Ta ? kalian pulanglah, aku sudah tak punya waktu lagi..." suaraku meringkih, parau oleh suara isak yang tersendat pilu.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang