Bab 10

65 1 0
                                    

Segala duka...
telah terbakar habis oleh api cinta. Lebur menjadi abu dan terbang ke segala penjuru. Terpecah, tercerai berai, hingga tak lagi mungkin dapat bersatu membentuk diri menjadi kesedihan.

Kunikmati perjalanan hidup ini...
Bersamanya meski dengan waktu yang terasa begitu amat singkat.

Sesuai permintaannya semalam, dengan sedannya Harris membawaku berkeliling kota, meski sebenarnya, akulah yang berada di belakang kemudi. Ia duduk disampingku. Sebingkai kaca hitam dengan keangkuhannya berlomba, berebut kelembutan sutra yang kugilai dimatanya. Mata yang sering menatapku dengan makna terselubung, mata yang menyimpan binar, mata yang seringkali membuat gempa di pesisir jiwaku. Mata yang sekarang tertutup oleh gelap yang tak dapat kutembus. Mata yang kuyakini menyimpan berjuta kecintaan, mata yang membuat cintaku kembali terundang untuk bertandang.

Perjumpaan ini adalah sebuah anugerah yang terbesar buatku. Sekali lagi kukatakan, bahwa aku tak pernah merencanakannya. Diapun tak pernah berencana. Hanya menunggu dan hanya mencari kehilanganku. Kehilangan cintanya yang tersembunyi. Sebuah cinta yang terangkai indah dalam lipatan jarak dan waktu yang terbuang. Sebuah cinta yang terpisah karena jiwa dan nurani yang tak pernah mau saling mengakui. Cinta yang tak terjawab dalam irama hening dan diam. Terpasung dalam jeruji yang melemahkan tapi sangat menggetarkan.

Sedan hijaunya terus melaju di bawah cengkeraman tanganku, melewati cempaka putih, menerobos kemacetan. Pembangunan underpass di sekitar pasar Senen terbentang, jalan kendaraan tersendat, merayap di kepadatan.

Diluar panas begitu menyengat. Debu dan kotoran berterbangan. Suara kendaraan meraung saling bersahutan, saling mendahului, saling berebut melewati perempatan jalan, kemudian berlalu, berucap salam perpisahan pada kemacetan. Dan kami lesat menuju tugu tani.

Duduk tanpa bicara.
Kami berdiam tanpa suara dalam waktu yang cukup lama. Aku dan ia menikmati sound therapy yang mengalun dalam ruang sempit ini. Ku-lempar pandangan ke jalan sementara ia duduk dengan mata terpejam yang tersembunyikan. Rasa lelah dan kantuk masih terlihat menyergapnya. Mungkin ia terganggu oleh ulahku semalam yang begitu ingin mengetahui keberadaan ruang pribadinya. Tapi dikedalaman hatinya, dapat kutebak, ada sesuatu yang berbunga dalam kegembiraan yang tak tertutupi.

Wajahnya berkata seperti itu...
Kulihat ada sebutir bahagia...
Meregat di sudut-sudutnya...
Aku sendiri dapat merasakan...
Walau masih banyak...
Hal yang tak dapat kumengerti...

Begitu banyak kenangan lalu yang terulang saat ini. Kehadiran Harris dalam hidupku, terasa bagaikan hujan yang turun membasahi tandusnya jiwa yang terasa kering. Sekeping rasa yang membuatku tak menyadari dan selalu membandingkan dirinya dengan keberadaan istriku dalam satu irama, dalam satu bejana yang sama.

Padahal saat aku menikah dengan Cyntia, tak terlintas sedikitpun kenangan itu dalam benakku. Aku benar-benar telah beralpa. Bahkan telah kulupakan segala kebaikannya. Kebaikan yang tak pernah dapat terlunasi dengan apapun untuk membayarnya.

Harris bagaikan bintang timur yang menerangi kesunyian hati. Ia bagaikan matahari yang mencairkan bekunya sepi yang merantai harap dan mimpi.

Kenangan itu datang tersambut...
Ketika mataku terbuka pagi ini....

Saat tubuhku beringsut meninggalkan pembaringan, saat kakiku melangkah memasuki kamar mandi dan saat mataku menatap wajahku sendiri pada cermin yang tergantung di dinding yang selalu menjadi saksi. Tapi bukan wajahku yang menjadi kenangan itu. Di atas wastafel biru itu, tatapanku terpaku pada sepanjang pasta gigi yang tergolek rapi di atas bulu-bulu halus sikatnya.

Satu pemandangan yang membuatku terhenyak...

Ternyata Harris masih seperti dulu, selalu menyediakan perlengkapan itu untukku. Dan aku tahu, bila ia memang khusus menyediakan semua itu untukku.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang