Bab 25

16 2 0
                                    

Cyntia masih berendam...
Meluapkan kehangatan air dalam bak porselen. Buih sabun yang berlimpah terlihat menutup dan menjilati sekujur tubuhnya yang gelisah. Perlahan matanya terpejam, merasakan bagaimana hangat air mulai memudarkan kelelahan jiwanya yang terasa rapuh.

Pagi meringkuk resah...

Langit disenggamai awan. Erat terdekap dalam cumbu dan kecup sepoi angin. Sejuk dan dingin. Tapi onggok gelisah, meskipun telah mereda, tetap terangkai dalam balut rasa, tak'kan pernah terbebaskan hanya dengan sapuan kata...

Cyntia menarik nafasnya dalam-dalam. Di dalam dadanya, di dalam hatinya seperti ada yang terkoyak. Nyeri oleh kesakitan yang menapaki relung-relungnya.

Semalam kesedihannya begitu dalam. Kesedihan yang membuatnya tak dapat terpejam. Dicobanya, untuk se-rileks mungkin dengan menyandarkan kepalanya di atas sofa. Tapi percuma, kecemasan yang menggumpal di batinnya ternyata lebih kuat mengikat dirinya, hingga ia benar-benar tak dapat segera terlelap.

Sementara, Ita telah nyenyak, berbaring dengan pakaian yang tak terganti. Terlelap dalam make up yang masih utuh. Sungguh nyaman rasanya hidup tanpa terikat oleh kesesakan. Damai, tenteram, serupa senja yang menapaki malam, tak tersakiti meski diintai kegelapan. Tetap bertenang di dalam sepi.

Cyntia bolak-balik di beranda rumah...
Seperti inikah...
Rasanya dihampiri oleh duka...?

Yang datang tanpa di undang...
Dan membawa kesedihan...

Ia berdiri mematung....

Terkapar...
Dan membiarkan waktu berjalan...
Dalam menit...
Yang menyimpan harap...

Menunggu
Dalam gelap yang tersungkur

Menanti
Dalam pedih yang tak terukur

Dan...
Aku memang tak kembali malam itu. Tidak pulang seperti yang telah kukatakan, meski dalam batin aku tahu bila ia tengah menungguku di bawah malam. Tapi sudah terlanjur,  Seperti awan yang terbawa angin, ragaku terus melayang menuju sinar kebahagiaan. Terdekap tanpa ingin merenggang. Terkepak dan membumbung. Terulang dan berulang hingga sayapku yang patah, sayapku yang tergores, terus bergegas dan berlari menghidari sepi yang sering ia ciptakan.

Langit terbentang, membukakan tahun ke depan untukku. Menutup masa lalu dengan tetes air yang mengalir. Tetes yang tak lagi mengandung kesedihan. Tetes yang tak lagi mengandung kesepian. Semua telah terbakar, mengering oleh hangat yang memusnahkan senyap. Sepi-sepi yang tertinggal. Sepi-sepiku yang senyap telah terlunturi oleh kelebat cinta dari yang terkasih dan untuk seorang kekasih, keadaan inilah yang menjadikan  ku-lupa pada lara, lupa pada hampa,  lupa pada segala yang seringkali membuatku tersiksa.

Segala gelap yang merangkul telah tertepis oleh cahaya di kedalaman senyap, melenyapkan sesuatu yang bersetia dalam kecintaan yang melahirkan penghianatan yang tak berjeda.

Tapi, aku telah lebih dulu mengaguminya, mencintainya dalam diam, jauh sebelum jatuh ke dalam pelukan Cyntia.

Bisakah ini dikatakan sebagai penghianatan...?

Lalu siapakah yang telah kuhianati sebenarnya...?

Harriskah...?
Atau Cyntia...?

Aku tak tahu...

Tapi aku merasa tak sedang berkhianat saat ini...

Hanya mencari jati diri dalam balut cinta sejati yang mengada. Dalam hati yang dingin dan keagungan sebuah setia. Aku dan masa lalu. Harris dan panantiannya yang mengampu pada kesetiaannya yang utuh untukku.
Sebuah cinta yang tersaruk dan melara...

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang