Bab 19

27 3 0
                                    

31 Desember 2002

Ia mengamati wajahku...
di bawah temaram lampu. Mencari-cari sesuatu yang terlukis dibalik misteri ketenangan malam yang berteman dengan kebisuan. Tanpa tawa, tanpa suara.

Langit terlihat jernih. Bintang menghias malam, gelap berhiaskan rembulan. Bersinar merangkai damai bersama hembus angin yang menyejukan, membuat suasana makan malam terasa begitu santai dan ringan.

Jam sepuluh sekarang, berarti empat jam sudah berlalu dari senja. Sebentar lagi tahun akan berganti. Menggantikan tahun lalu dengan hari yang lebih menjanjikan.

Sunyi terpecah dalam keramaian...
Kami masih duduk diam. Menunggu dan menanti waktu yang merambat, meninggalkan hari ini untuk menuju esok hari. Sesekali bibirku membuahkan senyum, pada keramaian yang terpahat di mataku, sesuatu yang membuat Cyntia menoleh dan ikut tersenyum meski ia tak menemukan sesuatu yang lucu di depan sana. Hanya terpancing oleh senyum dan emosiku yang tak terlihat.

Dan memang bukan itu yang membuatnya tersenyum. Saat matanya memandangku ia teringat, bagaimana awal mulanya kami bertemu. Beralaskan kesabaran, ia membujuk dan membuat janji temu saat ia berupaya memperkenalkan product asuransi yang tengah ditekuninya delapan tahun lalu. Ia tak pernah merasa lelah menghubungiku, sampai akhirnya berhasil dan aku memberinya kesempatan untuk menjelaskan product yang ia tawarkan.

Aku tak berani membayangkan bagaimana perasaannya saat itu. Meski pada awalnya, tak tersirat rencana lain selain hanya memperkenalkan product dan selembar polis yang harus terjual. Sebuah beban yang terpikul untuk mencapai prestasi baik sebagai seorang marketing, pekerjaan sambilan yang ia geluti ketika angka duapuluhtiga menduduki usianya selain mengajar.

Sebenarnya, dengan mengajar saja, Cyntia sudah merasa tercukupi, segala kebutuhannya sudah dapat terpenuhi dari situ tanpa harus mengocek isi saku orang tuanya, yang kebetulan hanya tinggal seorang perempuan setengah tua yang juga sibuk dengan pekerjaannya. Seorang ibu yang telah membimbingnya menjadi seorang guru private. Dan tentunya, Cyntia juga berharap bisa seperti ibunya, mendapatkan uang tanpa harus terikat dengan waktu.

Dan ibunya telah mewariskan itu dalam usianya yang relatif masih muda. Cyntia bertumbuh menjadi seorang guru private dengan jumlah murid yang cukup untuk menghidupi dirinya sendiri.

Entah disengaja atau tidak, sang ibu juga telah mengaruniakan keberanian dalam dirinya. Keberanian untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Terutama bagi Cyntia, haruslah lebih baik dari yang telah ia capai sebelumnya.

Tapi keduanya seringkali terlihat tidak sependapat meski memiliki tujuan hidup yang sama. Ibunya adalah seseorang yang berkepribadian sederhana sedangkan Cyntia selalu ingin menghabiskan waktu dalam gempitanya kehidupan malam. Dan Cyntia menyadari, bila perbedaan itu memang tak pernah dapat didamaikan. Itulah sebabnya, ia jarang sekali terlihat berjalan beriringan atau berkomunikasi dengan ibunya.

Aku bertemu dengan dirinya, sesuai appoinment yang telah kami sepakati. Saat itu ia datang sendiri, membawa sekotak janji yang ingin ia jual melalui product yang tidak pernah kubeli. Aku menolaknya dengan halus. Dengan mengatakan bila aku sudah memiliki polis asuransi dari perusahaan asuransi lain. Dan...

Ia menatapiku.

Entah apa yang dilihatnya dari balik mataku yang terbalut kaca minus tiga yang tak terlalu tebal. Ia menatapku seolah ingin menelanjangiku sekaligus. Matanya menjalar mencumbui kemeja biru dan celana hitam yang melekat di tubuhku. Dan, ia juga memperhatikan caraku duduk, caraku menerima telepon, caraku berbicara dan sepertinya ia tengah memperhatikan kupu-kupu yang baru saja keluar dari kepompongnya, yang tengah mengepak dengan keindahan sayapnya lalu terbang memutari setangkai bunga.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang