Bab 21

28 3 0
                                    

Asuransi...
Ada sesal yang berdiam dalam diriku akan pengadaannya, terpasung di setiap langkah sesak yang tak lagi berjalan sempurna. Perasaan lama yang telah terbuang jauh, karena kusadari menyesali sesuatu yang sudah terlambat untuk disadari adalah satu hal yang sangat sia-sia dan percuma...

Bukankah begitu...?

Tapi meskipun demikian, aku masih tetap mencoba. Mencoba untuk mendapatkan selembar polis yang kelak dapat meringankan biaya pengobatanku. Mengharap sebuah mujizat. Mengiba pada sebuah kepastian di rimba ekonomi yang semakin sekarat. Dan hasilnya, aku tak pernah mendapatkan jawaban itu. Semua perusahaan asuransi selalu menolak ilustrasi yang kuajukan, walau pada mulanya merekalah yang menawarkan jasa itu padaku, baik melalui penawaran yang terselip di lembar tagihan kartu kredit ataupun via telemarketing.

Begitu banyak penawaran tertebar. Menghampar di setiap tagihan yang tercecer. Tapi bagiku, semua itu sudah tak ada artinya lagi. Aku sudah terlambat. Sangat terlambat dan aku sudah tak bisa memilikinya lagi bahkan tidak layak.

Aku menyimpannya sebagai suatu kebodohan. Kegagalan dan kesedihan. Kekurangan dari kehidupan yang akhirnya banyak menguras jaminan hari tua. Terkuras oleh penyakit angkuh yang merimba dalam detak-detak jantungku. Yang menggerogoti keseharianku. Pagi, siang, dan malam-malamku yang akhirnya hanya berpasrah pada kekuatan alam. Kekuatan yang mengampu pada siksaan di atas segala rasa sakit yang berkuasa.

Beribu harap yang terenda dalam keputus-asaan dan kepahitan akhirnya hanya menebalkan kabut yang semakin hitam yang tak lagi mudah tertembus, hingga ku-tak lagi bisa meraba apapun. Ku-lepas masa-masa indah yang telah terlalui, menyendiri untuk merasakan kesakitan diri.

Tak seorang pun yang dapat menguliti sesak yang tersembunyi. Semua derita kusimpan sendiri. Tidak juga pada seorang ibu yang telah melahirkan-ku ke dunia ini. Jiwanya tentu akan semakin runtuh bila mengetahui penyakitku, setelah kepergian ayah yang membuat hatinya merana. Aku tak ingin mengecewakan siapapun yang terdekat dengan adaku. Orang-orang yang teramat kucintai. Orang-orang yang sangat berharap dalam pengadaanku.

Aku bungkam dalam derita. Tapi bersetia pada sebuah perjuangan. Aku berjuang untuk tetap hidup. Demi ibu. Demi adik. Demi hidupku. Juga demi Harris...

Ku-ikuti anjuran dokter tanpa keluh...
Kuteguk pelan derita itu...
Kunikmati...
Karena kuingin tetap hidup...
Kuingin tetap hidup untuknya...

Untuk Harris yang diam-diam kuakui keberadaannya di dalam setiap detak jantungku...

                          ******

Kuingin tetap hidup untuknya...
Yang selalu menemuiku di gerbang nyaman dan keindahan. Yang selalu bersenandung. Yang selalu meyakinkan bimbang hati. Hanya ia yang sanggup mengobarkan api kehidupan. Hidup yang hampir mati. Yang kembali menyala oleh sentuhan cinta. Dialah yang telah menyulut kemusnahanku menjadi ada dengan kasihnya. Ku-eja setiap hening dimatanya dan ia membaca setiap derita dimataku...

Kami telah saling melihat...
Saling merasakan...
Saling menemukan...
Tapi rasa itu terhalang oleh jarak yang berjejak tipis serupa awan di senja hari. Indah dipandang, sesaat dan hanya untuk sesaat yang membuat jiwaku lengah, tersungkur bagai mentari lelah hingga terkubur dalam kegelapan, Menjadikan mata hatiku buta dan rasaku hilang, tak lagi dapat melihat, tak lagi mampu mengingat, tersesat dalam ketiadaan terang dalam jiwaku yang tiba-tiba merasa dalam kesendirian. Dan, aku terjebak dalam pengadaan.
Terpasung....
Terjepit...
Dalam dekap getir...
Seorang perempuan...

" Hans, apa yang terjadi, kau kenapa ?" dekapnya saat aku lunglai sebelum mengakhiri latihan di sebuah gym yang berpusat di perkantoran Duta Merlin.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang