Bab 27

17 2 0
                                    

Ita menatap jam yang melingkari pergelangan tangannya. Pukul duabelas lewat empatpuluhlima menit, ditariknya nafas lega, berarti kesempatan untuk bertemu dengan kawan-kawannya masih ada. Sebentuk galau menggelinding di kedalaman hatinya.

Ada rasa tidak enak...

Terutama pada Vonny yang telah ia tinggalkan. Tanpa pesan, tanpa membekasi jejak kemana ia pergi, walau semua itu ia lakukan dengan alasan untuk sebuah kebaikan.

Ita berfikir, Vonny pasti telah memakinya habis-habisan, atau, bisa jadi Vonny berfikir bila ia telah bertemu dengan seseorang dan langsung meninggalkannya, menghindari keramaian dan langsung mencari lokasi yang lebih enak untuk dijadikan tempat berkencan.

Untung saja Ita masih ingat....
Bila hari ini, mereka masih memiliki sebuah janji, walau hanya sekedar ngumpul dan saling bertukar informasi. Sekali ini ia harus menepatinya. Tokh, hanya sekali-sekali. Sekedar mengisi hari libur dan tidak mengganggu aktivitas yang biasa menyibukinya. Apalagi sekarang masih libur awal tahun. Baru tanggal satu. Vonny juga pasti masih mengunci pintu salonnya rapat-rapat.

Masih dalam suasana baru... Pergantian tahun yang seharusnya bisa membuat kita merenungkan segala sesuatu yang telah berlalu, melepaskan jaring-jaring keburukan untuk menggantinya dengan sesuatu yang baru, agar hidup bisa menjadi lebih baik dan lebih baik lagi di tahun mendatang.

Mengingat kejadian semalam, membuat Ita tersenyum sendiri di dalam taksi. Kemarin, saat Cyntia menghubunginya, ia memang masih berada di luar gedung, hingga dengan mudah ia menyelinap keluar dari keramaian, menghidari teman-temannya dan menghilang dari pandangan mereka. Lalu pergi...

Sebenarnya, ia agak malas menghadapi Cyntia yang sedang dilanda masalah. Saat Cyntia sedang stress adalah saat yang sangat tidak menyenangkan. Bicara dengan Cyntia dalam keadaaan seperti itu tidaklah seperti menghadapi tamu-tamunya di kantin. Mudah diberi penjelasan atau cukup meminta maaf bila kebetulan masakannya terasa asin atau kurang sedap. Menghadapi Cyntia yang tenggelam dalam stress, sama saja dengan menambah satu kebekuan masalah yang tak mudah dicairkan. Pikirannya penuh taktik dan strategi. Cyntia seringkali membuat seseorang merasa lelah saat berargumentasi dengannya karena harus memeras otak sampai kehilangan energi yang begitu besar. Ia pandai mendikte, pandai membalikan suatu masalah untuk kepentingan dirinya sendiri. Dan Cyntia terlalu pandai mencari celah kebenaran untuk kesalahan yang kerap ia lakukan membuat ia selalu benar dalam setiap tindakannya.

Tapi entah mengapa, kali ini Ita terlihat begitu antusias, meninggalkan kesenangannya hanya untuk menemani kesendirian Cyntia. Atau mungkin, karena ia merasa peduli, merasa kasihan pada diriku, dan berupaya membantu memperbaiki ketidak-harmonisan rumah tangga kami.
Dan, Ita memang selalu merasa tertantang untuk itu...

Moga-moga Vonny tidak marah dan masih menunggu, pikirnya ketika taksi yang ditumpanginya berhenti di depan mal. Ia bergegas membayar sejumlah angka yang tertera pada argo. Lalu kakinya melangkah tergesa, memasuki pusat perbelanjaan. Dan saat kakinya mulai menapaki lantai granit yang dingin, seketika panasnya matahari yang amat menyengat, terusir dalam hitungan detik. Udara sejuk langsung menghampiri tubuhnya.

" Hhhaaaiii...!!!" serunya pada berpasang mata yang berpaling. Senangnya bukan main, Vonny dan kawan-kawannya ternyata masih menunggu.

" Kirain loe gak dateng, Ta ?" Vonny melirik pergelangan tangannya. Suara jengkelnya melantun.

" Duhhhh...Kan Cuma terlambat limabelas menit, jalanan macet ! Sorry deh, sorry..." ucapnya merajuk. Lalu ia menarik sebuah kursi dan mendudukinya.

Vonny menggelengkan kepala sambil menarik nafas.

Tangan Ita melambai, memanggil seseorang yang tak jauh keberadaannya.

" Loe udah pada makan ?" tanya Ita. Matanya menyapu meja yang masih kosong.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang