Bab 12

53 3 0
                                    

Jantungku masih mengepak....
Alun musik menghantar tubuh lelah kami ke pembaringan. Lirik yang terdengar seperti sebuah persembahan kata yang diperuntukan bagi seorang kekasih. Ada yang mengambang di sudut asaku. Malam memang telah semakin larut untuk diperbincangkan. Tapi masih kunikmati juga anggur kemanisan itu. Tersuguhkan dalam gelembung kecup yang menghampiri kulit wajahku. Sungguh, inilah sentuhan yang menawarkan beribu rasa, rasa yang membuatku berteguh hati dalam persembunyian rasa, untuk tetap mencintai adanya dalam kasih yang tak lagi ingin terbagi. Utuh dan hanya untuknya...
Pancaran bening kulihat berhias di matanya...

Malam ini adalah malam terakhir masa liburanku. Berakhirnya malam sepiku untuk menemani ramai hatinya. Malam yang berlalu dengan kesempurnaan, leburnya sebuah hasrat dalam ingin yang tak lagi terpasung. Dimana harap tak lagi sudi menjadi sebuah mimpi. Bersisa bahagia dan tersimpan di tempat yang sama. Di sebuah tempat yang tak tersentuh, sebuah tempat yang begitu agung. Hati dan cinta yang masih terpasung dalam kebimbangan.

Gelap yang mengintai menjadikan hati kami resah. Bilakah bulan dan kerlip bintang yang lenyap akan menghadirkan pagi dan terang  menggantikan semuanya...?
Tentang akan berlalunya  kebersamaan ini, mungkinkah lenyap juga segala keindahan yang telah kami raih..?

Mataku terpejam, cukup lama, merasakan sentuhan hangat yang tak berhenti menari di atas kepalaku. Jari-jarinya demikian lembut melepaskan rasa dahaga yang tak pernah ingin kuakhiri. Aku bahkan tak pernah merasa puas untuk menyudahinya. Sesuatu yang tak pernah kudapat dari Cyntia dan sesuatu yang juga tak pernah kulakukan padanya. Sesuatu yang membuat diriku hanyut di sebuah aliran sungai yang tenang, yang terus membawa jiwaku pada sebuah kebersamaan yang begitu damai.

" Hans ?"

" Hhmm...?"

" Berjanjilah, Hans ?"

" Apa Harr ? Apa yang harus kulakukan untukmu ?" ku-tatap resah matanya yang masih terbaring di dadaku.

" Berjanjilah padaku..." matanya menikam jantungku, keresahannya bermuara dihatiku. Sebuah keresahan yang sama seperti yang kurasakan.

" Tetaplah bersamaku..." sengat tangannya membelai pipiku. Ku-hampiri jari-jarinya, kugenggam...

" Tapi, Harr..."

" Aku mengerti, Hans. Paling tidak berilah aku sedikit waktu untuk memperhatikan dan merawat orang yang aku cintai,"

Aku beringsut, bedcover yang menutupi tubuh kami tersibak saat aku duduk berlipat kaki dan memeluknya.

Aku terpekur...
Harris diam...
Matanya gelisah...
Menatap harap...

" Aku mengerti, kau pasti merasa berat pada isterimu ?" aku tahu ia mulai merabai hatiku, pada posisi diriku yang mungkin sulit untuk berbagi. Meski aku sendiri sedang berfikir seribu satu cara untuk bisa melakukan itu untuknya.

" Mengapa harus begini jadinya, Harr ? Mengapa harus aku ? Mengapa harus kau ?" ujarku, lebih menyerupai rintihan daripada keluhan.

" Karena aku mencintaimu, Hans. Karena aku menyayangimu. Sepuluh tahun aku menantimu dalam kesendirian, mencarimu dalam kesepian. Dan aku hanya berharap padamu. Aku selalu berharap dapat bertemu denganmu, meski itu hanya terjadi dalam mimpi..." kedua matanya kembali bercahaya, bukan karena pantulan sinar lampu, tapi karena aku melihat genangan air di dalamnya.

" Harr...?"

" Aku sayang kamu, Hans..."

Ku-dapati air yang meleleh dari kedua matanya, mengalir membasahi wajah kekasihku yang memiliki kecintaan yang luar biasa.

Aku luruh dalam haru. Bagaimanapun juga air matanya adalah air mataku. Tetes-tetes air yang bermuara dari dasar kalbu. Kutarik tubuhnya. Kudekap. Kupeluk. Dan kuciumi wajahnya yang basah.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang