Bab 39 ( TAMAT )

116 3 0
                                    

Tanggal delapan belas...
bulan Januari di awal tahun yang baru saja bertukar, kumasuki pekarangan sepi sebuah neraka yang tak lagi ingin kuhuni. Aku melangkah dalam kebimbangan hati, bergerak ragu di desir angin yang berbisik dan lembutnya daun-daun yang bergemerisik. Dan aku menjadi bergidik dalam jiwa yang berisik. Aku tahu, delapan tahun bukanlah waktu yang sebentar dalam mengarungi sebuah rumah tangga, kandasnya perahu layar yang kami arungi bersama bukanlah karena etika yang bergelombang di ganasnya kehidupan. Tapi karena adanya ketidak-sempurnaan angin yang tak pernah mencapai keseimbangan. Kuingin berlayar ke barat sedang Cyntia mempertahankan tujuannya ke timur, aku ingin ke utara dan dia terus saja menuju ke selatan. Tak pernah mencapai kata kesepakatan untuk sebuah keharmonisan. Biar bagaimanapun, hubungan kami memang tak pernah berjalan dengan mulus. Semulus harapanku yang tergantung di langit biru. Seperti harapku saat pertama kali bertemu dengannya, saat ia datang dan menawarkan polis asuransi yang tak pernah terbeli.

Entah mengapa...?
Dulu aku bisa merasa cocok dengannya...
Benar-benar cocok...
Dan hanya perlu beberapa minggu saja, cinta kami telah bertumbuh, bersemi dan berkembang tanpa bimbang yang menjadi penghalang. Atau begitukah yang kuyakini sendiri sebagai seorang laki-laki dengan segenap jiwa, dengan segenap hati dan pikiranku.

Bagaimana mungkin aku bisa salah besar...?
Bagaimana mungkin...?
Mengapa...?

Apakah yang sebenarnya sedang terjadi...?
Mungkinkah karena Harris yang telah lebih dulu menetap di kedalamanku...? Terlalu sempit, hingga tak pernah kubiarkan siapapun untuk memasukinya lagi...

Bersama Cyntia, jangankan untuk mengurai bahagia, di sampingnya jiwaku selalu menangis dalam sepi yang tersesak hingga kuhampir mati.
Lalu, perlukah dipertahankan lagi...?

Kecintaan ini...
Yang selalu mengundang sunyi...

Rumah dalam keadaan sepi. Lampu teras masih menyala. Mungkin lampu itu tak pernah mati sejak aku tak pernah kembali. Karena biasanya, hanya jemariku saja yang sering menyentuh saklarnya yang terpatri di dinding hingga ia tak lagi berenergi.

Gemetar jemariku saat memasukkan anak kunci ke dalam lubangnya. Mencengkeram tangkainya dan aku mendorongnya pelan-pelan. Kubawa kaki-ku ke dalam, memaksa bobot yang mengisi seluruh tubuhku untuk tetap melangkah dengan kesusahannya sendiri.

" Hanya sekali ini saja dan aku tak'kan pernah kembali lagi..." bisik bathinku di puncak gelisah yang meradang.

Aku tahu...
Bila saat ini, Cyntia ada di dalam, tengah menungguku dengan berbagai pertanyaan. Kalimat-kalimat sakti yang kerap kali melahirkan buah perselisihan.

Aku resah dalam diam...

Kami memang bagaikan api dengan bensin. Langsung menyala saat tersulut api. Tak perduli sekecil apapun sifatnya. Yang jelas api itu akan langsung berkobar, menyambar dan membakar setiap damai yang bersusun rapi di tiang-tiang lara yang berjendela keegoisan.

Telah sering ku-menghindarinya, dengan diam yang terbungkam, dengan kemarahan yang tersandung-sandung di puncak malam yang menyimpan segala terang. Semakin hampa dan sepipun bertahta dalam jiwa.

Tapi sekarang, setelah keputusan itu datang dan menjadi sebuah kepastian, terusirlah segala rasa yang bersemu dalam biduk sepiku, pergi menjauh dari pengadaan yang kerap merasa tersakiti.

Saat ini, kurasakan ada sejuk yang mengaliri hati, meski masih terselip bayang bimbang, yang bergelantung tak berterima keadaan dengan segala rintihannya yang bisu.

Sepi....
Hatiku tetap merenda sunyi dalam sesat yang tak lagi berdimensi. Dan ku-usai mimpi dalam lingkar imaji yang tak lagi terpatri di wadah sebuah janji. Karam dan kubiarkan semuanya tenggelam. Karena memang itulah yang kuingini. Mengakhiri segala untuk memulai sebuah awal yang kurasa sudah pasti.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang