Bab 14

37 2 0
                                    

Matanya terus mengawasi adaku di keremangan senja. Langit yang melukiskan keindahan sore dan matahari yang hampir tenggelam memoles semesta dengan ungu dan jingga,  menjadikan biru tak lagi merasa sendiri karena kemegahan sentuhan sinarnya yang memerah.

Ia terus memperhatikanku dengan tatapan yang jarang sekali kutemukan. Biasanya, sepulang dari bepergian, ia langsung masuk ke dalam, memasuki kamar dan meninggalkanku bersama barang-barangnya yang akan kuletakan di ruang tamu.

Tapi kali ini, ia membiarkan semilir angin mengecupi anak rambutnya yang tergerai menari-nari di atas kepalanya. Matahari sore menyinari licin wajahnya, mencumbui runcing hidungnya dan menyempurnakan letak bibirnya yang merah sempurna.

Ia menelan ludahnya berkali-kali. Menatap pada tubuhku yang basah bermandi keringat. Hatinya berpacu deru, adrenalinnya memuncak, bergumul menjadi satu dalam sebuah ingin yang tersimpan. Darahnya berdesir, nadinya terperangah. Ada setangkup keinginan yang seketika terjerang dalam dirinya, keinginan untuk memeluk hangat tubuhku yang tiba-tiba menuntut. Perlahan matanya terpejam, membayangkan sentuhanku, membayangkan ciumanku, membayangkan segalaku yang lama sekali tak tersentuh.
Akan ciumanku yang hangat...
Akan ciumanku yang panas...
Akan ciumanku...
Yang penuh dengan gairah sensual...

Tatap matanya menyiratkan hasrat yang mendalam. Aku dapat merabainya, ada sebuah ingin yang menghentak dalam dirinya, merasakan lembutnya keras tubuhku ketika bersentuhan dengan kulitnya, memeluk dan mendekap dalam kobar api gairah yang menyala-nyala. Sungguh, tatapan itu membuatku jadi salah tingkah, diperbudak oleh desir yang tiba-tiba memenuhi perasaanku.

Tatapannya menyiratkan sesuatu yang luar biasa dalam pengadaanku. Mungkin karena perubahan penampilanku dengan T shirt yang kukenakan saat ini, menjadikanku terlihat bagaikan seekor burung rajawali yang tengah bertengger di ketinggian sebuah tebing, berkepak dengan sepasang sayap yang lebar hingga sosok vitalitasku terpancar menggoda diamnya. Dan, T shirt yang basah oleh keringat ini pasti telah membayangi ramping tubuhku, terlihat begitu maskulin dimatanya.

Dalam kesibukan, aku menoleh ke arahnya.
Senyumku mengembang...
Bibirnya tertikam...

Ada aliran hangat yang menjalari wajahnya saat kutatap liar matanya. Ia masih diam mematung. Terkagum, meniti dalam tatapku, pada pandanganku yang tenang dan posesif. Pada pandangan yang selalu tersembunyi, pandangan yang tak pernah ia temukan di sela kesibukan harinya yang selalu stress...

Malam ini...
Mungkin ia tengah berharap, bila aku akan menyentuhi-nya seperti malam-malam lalu. Merayu dan mencumbuinya dengan kilatan hangat yang dapat menyalakan api gairahnya. Dan tentu saja, kami memang sudah lama sekali tak melakukan itu, hingga ia terlihat begitu menginginkannya.

Rasanya memang aneh.
Dan siapapun yang mendengar tak akan mempercayainya. Kami, aku dan dia,  sepasang suami istri yang tinggal satu atap bahkan tidur dalam satu kamar tapi jarang sekali melakukan hubungan intim. Satu hubungan yang katanya bisa menyatukan keharmonisan dalam sebuah ikatan. Keharusan yang tak boleh tak terjadi dalam sebuah perkawinan. Komunikasi tubuh yang merupakan penyatuan ragawi dengan keindahan luar biasa. Persenyawaan dua partikel atom yang berbeda dalam satu ledakan birahi yang melahirkan nikmat tiada tara.

Sudah cukup lama semua itu terabaikan. menjadikan perkawinan ini terasa semakin gamang, begitu hampa dalam dingin yang tak lagi berhangat. Enam bulan, telah kumasuki waktu yang demikian lama untuk bertahan, mengabaikan segala ingin dalam gelap yang bertembangkan lagu sepi.
Sendiri...
Begitu dingin...
Dan aku membeku...
Dalam sebuah hasrat yang terpenjara.

Seringkali gairah itu membuncah, terperangah dalam situasi dan keadaan yang membuatku tak berani melakukannya, menyentuh istriku sendiri dalam hangat yang dapat melambungkan rasa dan jiwa.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang