Bab 32

16 1 0
                                    

Malam serasa tak lengkap tanpa rembulan. Tidur serasa tak indah tanpa mimpi. Seperti cinta, tak'kan bertumbuh tanpa kasih. Seperti bangunan kokoh, tak'kan terbentuk dalam satu hari. Semuanya perlu waktu, semuanya perlu sesuatu...

Saat ini, Cyntia bagai sedang menebang sebuah tanaman yang berulat. Membunuh perasaannya sendiri. Membibit rasa untuk memelihara tunas baru agar tak mudah terserang hama, berharap tanaman itu dapat terus bertumbuh dan berbunga. Tak perduli meski ada kesakitan, tak'kan mundur walau ada pertempuran dalam batin, tak'kan menyerah walau ada gelisah yang timbul tenggelam dan tidak akan ia tinggalkan meski akhirnya ia harus terseret dalam stress yang berkepanjangan. Semua ditampungnya dalam sebuah bejana atas nama cinta. Cintanya padaku yang ingin ia perjuangkan.

Cyntia mencoba bertahan, menelan setiap tangis yang berguguran di tenggorokan. Apapun yang tengah ia lakukan, semata, agar aku bisa memahami bahwa segala yang dilakukannya sekarang bukan lagi untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk kami. Hanya untuk aku dan dirinya, tak ada yang lain.

Dengan rela ditanggalkannya kekerasan hati yang keliru dan selalu membenarkan segala bentuk kesalahan dalam dirinya. Semua ia lakukan semata agar tetap menjadi bagian dari pigura yang tergantung di dinding hatiku.

Tapi kurasa...
Semua itu sudah tak ada artinya lagi. Sekali lagi kukatakan semua sudah tak berarti lagi buatku. Meskipun ia telah melakukan yang terbaik dari yang paling baik sekalipun, karena telah beku dan dingin hati yang selama ini terabaikan. Hatiku yang kini telah menyimpan sebuah nama lain yang lebih agung.

Gelap yang menggores malam kini menjadi saksi kesedihan yang menggelantung di binar matanya yang tak lagi menyala. Aku tak kembali lagi malam ini. Tidak pulang dengan alasan dinas ke luar kota. Kelelahan dan terpaksa harus bermalam di penginapan.

Padahal...
Seminggu yang lalu, meskipun malam telah larut ku-paksakan juga diri ini untuk kembali. Dua hari yang lalu-pun, aku masih ingat untuk pulang. Tak pernah menginap dan tak pernah bermalam. Dan, bila selama ini kami selalu pulang bersama, kini rutinitas itu-pun sudah tak ada lagi. Aku yang dulu terbiasa dengan tanggung jawab itu, kini mulai mengabaikannya. Cyntia lebih sering pulang sendiri, tentunya setelah ku-beri alasan yang kurasa bisa dimengerti olehnya. Ada jamuan makan dengan klien, ada meeting mendadak atau masih tugas di luar kota. Tanpa rasa takut, tanpa lagi harus merasa bersalah.

Dulu, betapa sering ia memuntahkan kemarahan terhadap sesuatu yang tiba-tiba terjadi. Padahal semua itu terjadi di luar rencana yang telah tersusun dengan rapi.

Salahkah...
Bila sekarang aku tak lagi peduli...?
Bukankah telah cukup
Segala yang telah terberi...?
Untuknya...
Tanpa dapat kukatakan tidak...
Pada tiap keinginannya...

Kini, kuyakinkan dengan matang seluruh gema yang bergenta dalam hati ini, meski akhirnya harus ku-biarkan dirinya meradang dalam kecewa...

Tenggelam dalam duka...
Merejam kesendirian...
Mengais sepi...
Dalam malam
Yang terasa dingin dan beku...
Tapi Cyntia tak pernah menyerah...
Dan ia-pu...
Tak pernah berhenti melangkah...

Seperti mentari
Yang terbit di pagi hari

Janganlah pernah berhenti
Janganlah pernah menyerah

Karena...
Mentari akan selalu
Membawa sesuatu yang baru

Untuk sebuah kehidupan
Untuk seuntai harapan
Untuk sekeping cinta

                            *****

Malam ini...
Ku-habiskan waktu bersamanya. Bersama Harris yang menuntun-ku ke suatu tempat, di mana rasa malu tak lagi perlu disembunyikan. Di tempat ini, tak ada yang mengusik dan tak perlu merasa terusik. Di sini semua orang merasa sama. Saling membutuhkan dan saling menghargai. Saling mencari perhatian dan saling menggoda. Terincar dalam hampar lekuk tubuh yang ramai dan di sini tak ada lagi perasaan terlecehkan, yang sering berbunyi dari bisik bibir yang merasa dirinya tak bermunafik.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang