Bab 7

96 1 0
                                    

Tak sampai lima belas menit,
Aku dan ia tiba di depan sebuah seafood resrtaurant, sebuah tempat yang cukup sederhana. Cocok dengan suasana dan bau laut yang menghiburku. Angin yang bertiup kencang, cerah mentari yang membuka pagi, menyamankan suasana yang jauh dari kebisingan.

Laut telah mengirimi aku seseorang dalam deburnya yang membahana. Seolah ia telah membayar lunas semua rindu yang terbisiki oleh pasir putih. Seolah ia ingin menyapu semua lara dan kesedihanku melalui riak dan buih putihnya yang membasuh kedua mata kakiku. Menyejukan ketandusanku. Menyegarkan kegersanganku. Dan kuhampiri adanya, ia dalam rindu yang terpasung pada kesedihan yang tiada tersentuh.

Kini, telah ia pertemukan aku pada sebuah nuansa yang terbawa gelombang. Menyeretku pada sebuah sejarah yang hampir membatu. Menenggelamkan jiwaku, terpeluk dan terdekap. Kuresapi tangis dan pedih yang tertambat di dadanya. Yang tak tersengaja dan yang tak terencana, tapi membuahkan hasil yang tak pernah kuduga. Hingga tak terbesit secuilpun penyesalan ketika aku merasa harus kehilangan segala.

Aku dan Harris melangkah masuk...
Kami duduk di sudut. Dibalik sebuah meja dengan keanggunan setangkai anggrek ungu. Restaurant dengan interior sederhana. Kayu atau nuansa yang bercat kayu mudah sekali terlihat di sini. Sangat tenang dan terbuka.

Harris memilih duduk berseberangan denganku. Hingga ia masih dapat memincingkan matanya ke arahku. Kedua kakinya bersilang dengan nyaman. Saling berpangku, saling bertumpu. Senyaman matanya yang menelusuri daftar menu yang diberikan oleh seorang pramusaji.

Sementara mataku berkelana. Terpatri pada meja-meja yang tertata rapi. Terantuk pada setiap orang yang mulai berdatangan.

Aku merenung dalam diam. Gamang dalam keteduhan. Andai saja Cyntia yang berada di sini bersamaku, di seberangku dengan menu yang melekat di tangannya. Tentu tak'kan seperti ini suasana hati yang akan kudapati. Bersamanya, selalu saja menerbitkan rasa takut yang tak pernah kumengerti, selalu ada yang salah, selalu ada yang tak beres, selalu ada yang tak berkenan hingga menimbulkan suasana dan emosi yang tak nyaman ketika ia memperotesnya dengan keras.

Berbeda saat bersama Harris sekarang ini...

Ada kenyamanan luar biasa yang berdenyut-denyut dalam nadi. Begitu tenang. Hanya ada angin yang lembut. Yang menyentuh dan membelai seluruh dinding hati, hingga tak kurasakan sama sekali panasnya mentari yang mulai terasa menyengat diri.

Sebenarnya, suasana seperti inilah yang selalu kudambakan saat bersama Cyntia. Tapi sekarang, sepertinya harapan itu telah lenyap, hilang tergulung gelombang laut. Dan Cyntia memang tak pernah dapat mewujudkannya. Sekian lama aku menunggu, tapi ia tetap tak pernah berubah...

Hingga, aku tak lagi pernah berharap....

" Kau mau makan apa, Hans ?" suara tipis Harris menghapus labirin pekat anganku. Aku terkesiap, sesaat. Sesaat yang membuatku salah tingkah.

" Apa saja, terserah..." kataku cepat, berupaya menyembunyikan keterkejutanku dengan menggaruk punggung tangan yang tak terasa gatal.

Harris tersenyum.
Dan lagi-lagi matanya menatap kedalaman mataku, berselancar memecah galau. Terdiam dalam kekakuan, tatapan itu mampu membuatku tenggelam dalam pesonanya. Terseret, lesat dalam pengadaannya.

Kemudian ia mulai memesan makanan. Pramusaji yang berdiri disampingnya mulai menulis.

Pramusaji itu laki-laki...
Berumur kira-kira duapuluhempat tahun. Mengenakan kemeja putih polos dan bercelana hitam. Rambutnya dipotong pendek, penampilannya rapi, serapi ia menata ruang dalam rumah makan itu. Ia mencatat perlahan. Tangannya menari-nari. Setelah mengulangi apa yang dipesan iapun pergi dari hadapan kami ketika melihat Harris mengangguk sekali.
Lalu diam...
Sepi...
Kami sama-sama menunggu...

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang