Bab 22

24 2 0
                                    

Malam ini...
Pertama kalinya kumiliki keberanian untuk melakukan sesuatu yang kukehendaki. Menuruti keinginan sendiri walau ia tak mengijinkan-ku pergi, tetap melangkah untuk memenuhi kerinduan hati...
Hingga runcing kemarahan itu terpatahkan dari wajahnya...

Malam tahun baru yang seharusnya terlihat indah berubah menjadi malam yang penuh ketegangan. Dan, memang selalu begitu. Aku akan selalu melewati hari-hariku dengan keadaan yang sama. Dengan memiliki keinginan ataupun tidak memilikinya, selalu merasa tertekan dengan keadaan yang ada. Walau sebenarnya, aku sendiri tak pernah menginginkan hal itu terjadi.

Semula, aku hanya ingin membuatnya bahagia. Tak ingin membuatnya merasa tersisih dengan segala kesibukanku. Semua rencananya kuikuti, kuturuti meski akhirnya aku sendiri yang merasa tersingkir dari gemerlap kehidupannya. Itulah satu kesalahan fatal yang tak pernah kusadari, membiarkan dia terus menguasai adaku tanpa dapat menerima sesuatu yang kuharapkan. Hingga aku selalu menelan pahit yang terasa menyesakan.

Begitukah...???
Kehidupan dalam satu perkawinan...
Menguasai tanpa pernah memberi...
Dan terus menerima tanpa pamrih...

Hubungan ini memang tak pernah mengalami perubahan. Jalinan-pun tak pernah mengalami perbaikan. Kerap kali aku harus mengalah dan merasa kalah. Cyntia memang terlalu keras untuk dapat dipahat menjadi lembut. Ia selalu ingin semua hasratnya terpenuhi dan didahului. Ia tak pernah menyadari bila sikapnya telah merubah dinginnya sebuah perkawinan menjadi beku. Ia juga tak pernah menyadari bila kediaman dan kepasrahan yang kulakukan adalah karena aku merasa lebih baik menurutinya, menghindari pertengkaran hingga terbebas dari pertengkaran.

Jadi kehidupan perkawinan ini seperti bermain sandiwara saja layaknya. Setiap pagi aku mengantarnya. Setiap malam aku menjemputnya. Makan, nonton televisi lalu aku pergi tidur saat ia tengah sibuk mengerjakan sesuatu yang tak pernah kutahu. Tanpa menyentuh dan tersentuh. Tanpa memeluk dan terpeluk.

Jerit bathinku selalu terdengar di tengah malam yang sepi. Menerima kesunyian yang menjadi sepi jiwa yang begitu amat menyiksa dan membawa keinginanku tersesat hingga tak pernah tahu sebuah jalan yang harus kulalui agar bisa keluar dari kumparan yang tak pernah berakhir ini.

Mulanya aku mengira, Cyntia akan berubah seiring datangnya usia yang bertambah. Tapi aku menjadi semakin merasa tersia-sia. Dan aku makin terseret dalam ketandusan dan kekeringan. Tenggelam dalam lumpur kecewa. Kehausan dalam hujan dan merasa kesepian karena terabaikan.

Ku-korbankan segala keinginan hanya karena ingin melihatnya bahagia dan semua itu menjadikan diriku seolah sedang menghambakan diri pada sebuah cinta yang tersia-sia.

Segala asa tersimpan dalam harap. Harapan yang sarat akan sebuah kebahagiaan. Bahkan aku tak tahu lagi, kapan terakhir aku merasakan bahagia. Kata itu seolah telah jauh pergi meninggalkan keinginanku. Dan diriku semakin terpuruk dalam kesepian walau hidup berdampingan.

Lalu...
Salahkah bila saat ini aku berpaling ?
Setelah sekian lama tersiksa....
Selalu merasa sendiri...
Dalam siksa hampa dan kesepian...

Dan sekarang...
Semua rasa itu telah terusir oleh dekap hangat seseorang yang begitu mendamba, yang begitu lembut, yang begitu penuh kecintaan. Sebuah kecintaan yang menenggelamkan jiwaku pada sebuah asmara yang sempurna.
Cinta yang terindah...
Sebuah cinta yang terlarang...

Tapi aku begitu menikmatinya. Terantai di setiap alun yang bergenta. Yang melantun. Yang bergelora. Yang menyala, setelah sekian lama mati dan terpenjara.

                         *****

Langit hitam terbentang. Bersenggama dengan elok sang rembulan dan jutaan bintang yang gemerlap. Daun-daun bergoyang, bergelinyang disentuhi angin, bergairah dicumbui dingin. Malam terlihat temaram, terpisahnya terang dan siang yang mendatangkan kegelapan. Merangkul kesunyian dalam senyap yang tak lagi dipenuhi banyak kesibukan.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang