Bab 26

19 1 0
                                    

Sepotong telur dadar
menguning di atas piring. Dimasak oleh tangan yang terbaik. Diolah dari kasih yang terindah. Sungguh, irama syahdu yang kudengar dari kedalaman jiwanya terasa begitu lembut, begitu sejuk dan begitu mendamaikan hati.

Aku membayangkan diriku sendiri di masa lalu. Mengaguminya dalam hari, jauh sebelum ia meninggalkanku ke negeri seberang tanpa ia tahu. Tanpa ia sadari. Dan kami memang tak pernah menyadari keberadaan cinta yang telah melekat dalam persembunyiannya sendiri. Kami sama-sama tak berani, sama-sama takut untuk mengakui keberadaan kecintaan ini, tersimpan dengan begitu rapi di altar hati karena tak ingin mengotori arti persahabatan sejati.

Wajahku tertunduk menatapi ujung pisau yang menyayat gulungan telur berisi kornet, jari-jari garpu menekan, tanganku terangkat, bibirku menerima lalu aku mengunyahnya.

Harris duduk di depanku,  memandangiku sembari menyeruput hangatnya secangkir kopi. Sarapannya telah tandas sejak tadi. Piringnya telah kosong. Pisau dan garpu tergeletak di atasnya.

Dipandanginya diriku sedemikian rupa seolah ia sedang mengingat kapan terakhir kalinya mencicipi masakan seenak yang kuhidangkan pagi ini. Atau, entah kapan ia merasa begitu sangat kelaparan, sepertinya ia tengah merasakan masakanku dengan rasa yang tak pernah berubah, terasa nikmat meski hanya berupa kornet yang terbalut dalam gulungan telur.

Sekilas aku memandangnya dan ketika mataku bertemu dengan manik matanya, ia tersenyum. Senyum yang berlapis kemanisan madu dengan tatap yang tak berkedip, menatapku dengan tebar pesona kecintaannya yang telah terbayar lunas dengan hadirnya aku dalam kehidupannya sekarang.

Aku memasukan potongan telur terakhir ke dalam mulut. Membasuh bibir yang berminyak dengan tissue. Lalu mengangkat wajahku.

Sesaat lidahku tercekat...

Amboi...
Mata itu masih saja mengawasiku dengan sebuah bara yang menyala indah, dengan sebuah bara yang membuatku terpesona. Rambutnya masih basah. Bibir merahnya bagai tomat merekah. Wajahnya mulus tak berjerawat dan sama sekali tak kutemukan bintik hitam dalam pesonanya yang memabukan. Dan inilah yang merupakan sebuah kesempurnaan agung dimataku, Harris terlihat begitu tampan dengan kesempurnaan wajahnya yang begitu mengagumkan. Sungguh aku merasa begitu sangat beruntung akan kecintaan ini. Kecintaan yang menjadikannya utuh sebagai milikku.

Aku mengerling. Mengumbar senyum dan membalas bara itu dengan hangat cinta yang mengalir dari dalam hati. Bergetar jiwaku ketika jemarinya mulai menyentuh, merayapi punggung tanganku dengan sentuhan kupu-kupu yang hinggap di atas kelopak bunga. Begitu lembut dan menggetarkan. Sentuhan yang menjadikan aku selalu ingin berada di dekatnya, sebuah sentuhan yang oleh karenanya membuatku ingin mengakhiri segala yang bergerak hanya untuk merasakan kepaknya yang berkuasa di kedalaman jiwaku.

Kau tukar dukaku
Dengan bahagia yang tiada tara

Kau lepas jubah sepiku
Dalam irama yang indah

Dalam dekapmu, tak ada lagi lara
Bersamamu, tak terpeta lagi hampa

Hingga kekosongan jiwa ini
Menjadi penuh...
Dengan kecintaan yang ada

" Kau masih berobat...?" 

Aku menelengkan kepala.
Mengganti pesona mataku dengan tanya ke dalam matanya.

" Sakitmu...?" ada kuatir yang merangkup di wajahnya.

Aku tersenyum samar...

Terkenang, bagaimana sedih dirinya saat mengetahui penyakit yang kuderita. Bagaimana deras air yang menetes dari kedua matanya saat akan pergi meninggalkanku. Dan bagaimana tulus ia memberikan sebagian tabungan masa depannya, untukku memperjuangkan sisa hidup yang mulai terkikis.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang