Bab 38

39 3 0
                                    

Mengukir pagi...
Kurasa mimpi telah berakhir, menyisakan bahagia yang tersimpan rapi di tempat teragung dari sebuah sejarah, di sebuah tempat dimana dirinya telah bertahta dengan kemegahan yang tak terkira. Di sini, di dalam hati dan jiwaku tanpa lagi dapat tergantikan.

Hari ini...
Harris telah diperbolehkan pulang...

Keluar dari panther merah, kutegadahkan kepala, menatap pada semesta yang masih terasa tenteram dan damai. Langit begitu bersih. Bebas dari polusi, bebas dari asap dan debu. Udara masih terasa dingin, berlelehan air yang menetes dari kelopak daun yang melambai tertiup angin. Dan kuyakini secara pasti, bila semilirnya akan menyegarkan Harris saat dirinya keluar dari Panther merahku yang telah berhenti di depan rumahnya sendiri.

Aku dan ia memasuki beranda rumah, melewati taman yang masih basah, selangkah demi selangkah.

Masih terasa asing...
Mungkin...
Itulah yang pertama kali Harris rasakan...

Dirinya bagai seorang pendaki yang tersesat di sebuah pegunungan, tak tahu jalan mana yang harus di tempuh. Tapi ia terus berjalan, masuk ke dalam dan memutari seluruh ruang dengan matanya, sementara aku terus mengekor dari belakang. Mengikutinya...

Seorang gadis menyambut, meretaskan senyum di bibirnya. Harris mengangguk, membalas rasa hormat yang ia dapat. Hanya sekilas, sekilas yang membuat gadis itu merasa kehilangan sesuatu...

Sepertinya, Harris tak lagi mengenali dirinya, berjalan lurus tanpa tegur dan canda seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya.

Dan ketika gadis itu menoleh...
Aku hanya memberi isyarat dengan menempelkan jemari pada bibirku.

" Suara apa itu, Hans...?" tanya Harris saat telinganya mendengar suara gemuruh dari sebuah ruang. Ia berjalan mendekatinya, lalu berhenti.

Harris menyembulkan kepalanya ke dalam ruang, di mana ia dapat menemukan kesibukan tiga orang karyawannya yang bekerja seperti biasa meskipun ia tak ada. Mesin jahit tengah bekerja, sangat berisik di telinga. Mereka menyapa saat menemukan wajah Harris di balik pintu. Tapi tak satupun dari mereka yang mampu mengelupas ingatan. Harris terpaku, menyimpan berjuta tanya yang berkerencang dalam benak dan ia tetap menyembunyikan perasaan itu di balik senyum yang tetap memulas di wajahnya.

Aku masih mendampinginya ketika ia menoleh. Dan, kepercayaan dirinya yang nyaris luntur, menyala kembali saat mata kami bertemu.

" Mereka karyawanmu, Harr. Aku sempat menelpon Armi, esok hari saat kau dirawat, kuatir bila ia akan panik saat melihat ceceran darah yang tertinggal di lantai, karena aku tak sempat membersihkannya saat itu..." ujarku menatap ke arah gadis itu. Kulihat Armi masih terpaku. Berdiri memandangi tuannya dengan kedip yang tak sempat terlihat dari matanya.

Kepanikan memang sempat menyergap Armi saat ia memasuki rumah. Ceceran darah yang menodai lantai membuat dirinya terkesiap. Jantungnya berdebar kencang. Ia menjadi sangat kuatir, rasa takut tiba-tiba saja menyentuh keberaniannya. Armi mencoba mereka-reka yang terjadi, tapi pintu masih terkunci dengan baik. Tak ada yang rusak dan keadaan ruangpun masih rapi. Piring-piring masih tertata rapi, sayur dan lauk yang belum sempat kami santap-pun masih tergeletak di atas meja.

Akhirnya, Armi hanya mampu memanggil-manggil nama tuannya. Naik ke atas, turun ke bawah, setiap sudut tak ada yang terlewati, tapi tetap saja tak ada sahutan...

Rumah itu kosong...
Yang ada hanya noda merah di mana-mana.

Untungnya, di saat yang sama, naluriku cepat bekerja, aku menelpon ke rumah. Lalu kuberitahukan keberadaan Harris dan kejadian yang menimpanya.

Dan untungnya, aku juga bisa mengetahui waktu keberadaan dirinya di rumah itu, hingga Armi tak perlu berteriak-teriak ketakutan, yang bisa mengundang para tetanggga untuk melihat keadaan yang terpindai di depan matanya. Atau mungkin Armi akan segera memanggil pihak yang berwajib untuk mengidentifikasikan semua itu.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang