Bab 8

69 2 0
                                    

Dia membawaku terbang dengan sayapnya. Sayap yang hampir patah karena penantiannya akan-ku. Mengepak dengan cerita hati yang merindukan kemurnian cinta sejati. Mengecupi kehangatan angin yang membawa seuntai janji, melambungkan ribuan makna yang tersimpan dan terjeruji.

Terpana...
Ku-eja setiap kata yang tertatih di balik matanya yang banyak menyimpan rindu. Tatapan yang menusuki relung kalbu. Tatapan yang membuatku tersanjung memaknai arti senyum yang terbingkai di birunya langit yang mulai meluruh.

Berdekat jarak dengannya semakin menjadikanku kabur dari keakuan ragawi, seolah jiwaku tengah meniti sebuah terowongan yang amat samar, yang terlihat hanya setitik cahaya terang yang membawaku pada sebuah pencerahan. Meleburkan jiwaku pada sebuah keteduhan. Tak berdaya. Dan aku menjadi pasrah pada rasa yang meraja.

Duka dan lara biarlah berlalu pergi
Sunyi dan sepi biarlah berganti

Rindumu adalah
Cintaku yang tersembunyi

Galaumu adalah
Resahku yang tak bertepi

Dan cintamu adalah
Kasihku yang tak pernah mati

Ini adalah sebuah elegi yang tak bernama, terjadi begitu saja dan tak terencana, tergali dari masa lalu yang terenggut oleh waktu dalam dunia mimpiku yang bersalju. Merindukan masa itu, kulihat gegap bahagia saat matanya tak berkedip menatapku.

Memutar waktu dan kembali ke masa lalu, menjadikan bisik angin begitu indah terdengar. Bisik duka melara, kalah oleh genta yang berdengung menyapa pesisir hampa. Demikian sepi tersingkir. Begitu juga kerapuhan tersisir.

Waktu yang terus bergerak dan tak pernah bisa diam membuatku tak rela ketika malam mulai mengintai seolah ingin merampas kebersamaan yang menghadirkan getaran-getaran mistis dibalik keenggananku untuk kembali ke hotel. Ada sedikit resah berbumbu risau teraduk-aduk dalam adonan rasa saat mataku menangkap senja yang mulai meruyup diam diam dan menurunkan gelapnya semesta alam.

" Aku masih ingin bersamamu..." ujarnya mendahului keinginanku berkata.

" Aku juga..." sahutku.

Diam...
Kami berdiam dalam resah...

" Kita ke kamarku...!" suara kami berbarengan terdengar, menelanjangi hening, mengusik sepi.

Aku menatapnya...
Ia memandangku...
Aku tersenyum...
Dia mengulum senyum..

" Aku ikut kau, Harr..." kataku, lepas dari busur dengan lugas.

Kamar yang penuh keharuman menyambutku, meretas aroma bunga, mengelupas lapis demi lapis masa lalu yang membeku dibalik lipatan masa yang berlaku. Dan kebersamaan ini, meski baru beberapa waktu,  benar-benar telah mengalpakan segala. Mengikis habis himpitan beban batin yang terjepit.

Belum duapuluhempat jam bersamanya, aku merasakan sesuatu yang sangat berbeda. Sesuatu yang lain. Perbedaan yang sangat mencolok dari kehidupan perkawinanku dengan Cyntia. Bersama Harris, aku benar-benar bisa menjadi diriku sendiri. Aku bisa berucap apa saja. Aku bebas bertindak apa saja. Berbagi cerita, berbagi duka. Tak ada ketegangan, tak ada kerisauan seperti rasa was-was yang biasanya lebih unggul menguasai seluruh rasa saat bersama Cyntia. Terkoyak dan rasa itu telah berubah menjadi sebentuk rasa lain. Bentuk rasa yang semakin kuat dan nyata bertumbuh.

Belum satu hari bersamanya, telah dianugerahkannya bagi jiwaku akan satu kehidupan yang sempurna, terlepas dari duka akibat rasa sepi yang bersenyawa dalam kesunyian. Cintaku yang tertutup kabut berubah benderang oleh cahaya kasih yang cemerlang dari matanya. Lebur dalam damai dan karam dalam tenang kecintaannya yang begitu agung. Sebuah ketulusan yang telah membutakan mata cintaku dari keindahan ragawi. Perhatian dan tatap mesranya mengusik genta dalam hatiku. Terus berbisik dan terus berdentang berulang kali.
Dan aku begitu menikmatinya, dalam geliat hati yang tergoda...

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang