Bab 35

26 1 0
                                    

Senja merayu...
Mentari mengukir indah di belintang selat, mengundang malam untuk segera menyetubuhi semesta, mengurai langit penuh warna dan menggantung rona jingga di gerbang kegelapan. Angin menyenggamai alam, merekat tanpa hendak beranjak, menanti malam yang tetap sama dan selalu menyimpan cahaya terang dalam pekat yang tak terlihat, dalam gelap yang tetap bersahaja di kediamannya.

Torehan panther merahku yang terkurung pagar besi telah menambatkan sebuah mobil untuk berhenti di depannya. Ia dengan sepasang matanya, mengamati seri kendaraan dengan penuh kemenangan. Tak berkedip, meyakini bila seri mobil itu adalah benar milikku. Ia melihat sekali lagi pada alamat yang tertulis, membenarkan bila mereka memang telah menemukannya.

Kesunyian rumah mendekap. Merepih sepi yang seolah tak berpenghuni. Tetapi taman di depan masih basah, beberapa titik air masih berjatuhan, menetes.

" Tenanglah, kita sudah sampai..." bisik Ita, setelah mundur beberapa meter ke belakang lalu menghetikan deru mesin.

" Ingat, jangan melakukan sesuatu yang memalukan, kalo loe mo tegur si Hans, tegurlah setelah sampai di rumah..." pesannya sebelum mereka melangkah.

Cyntia mengangguk...
Datar tanpa ekspresi...
Sudut matanya masih bengkak...
Dan debar di hatinya...
Bergemuruh semakin kencang...
Langkahnya kini semakin dekat...
Tapi ia tak ingin berhenti...
Terus bergerak mengikuti kata hati...

                          ******

Suara bel yang membahana memaksa Harris untuk segera menghampiri pintu. Ia tengah menyiapkan makan malam. Ayam goreng, sayur asam lengkap dengan lalap dan sambal sudah tersedia di atas meja. Sambil bersenandung kecil ia melangkah. Tangannya menekan saklar saat melewatinya, membuat ruang tamu bermandikan cahaya dalam sekejap, terguyur sinar lampu yang tergantung di langit-langit ruang.

Pintu terbuka lebar, ia melongok, reflek tangannya mencabut anak kunci yang tergantung di lubangnya. Sepasang matanya menatap lekat pada dua tamu yang berdiri menunggu. Yang seorang menanti dengan gelisah sementara yang satunya lagi Harris tak dapat melihat dengan jelas, tubuh berlemak di depannya menghalangi pandangan.

" Hai, Hallo Riss. Wah...lagi istirahat ya ? Sorry ganggu sore-sore gini..." Ita berupaya menghangatkan suasana, mengakrabi Harris seolah telah mengenalnya cukup lama.

Recup tanya terbingkai dalam benak Harris. Sungguh mati, ia merasa tak pernah mengenal kedua wanita itu. Tapi pintu tetap terbuka, ia mempersilahkan tamunya masuk.

Saat langkah Cyntia semakin dekat. Harris sempat terksiap. Wajah itu terbentang dalam angan, menyeberang sampai ke dasar hati.

Ia merasa pernah menjumpainya...
Tapi kapan...?

Ia merasa pernah bertemu...
Tapi dimana...?

" Sepertinya kita pernah bertemu...?" keriap penasaran muncul ke permukaan saat tamunya telah bersandar di sofa. Mata Harris menatap lekat wajah Cyntia yang tengah berupaya menenangkan debaran hati, lalu bergantian, mengkelebati wajah Ita yang sibuk dengan tas kresek yang bergerak-gerak berisik memecah ruang...

Harris mendapati ekspresi yang bertentangan di kedua wajah tamunya. Cyntia terlihat muram, wajahnya seolah menyimpan penggalan duka. Sedangkan yang gemuk tak sedikitpun menunjukan hal serupa, dia boleh dibilang cukup ceria.

" Pernah dong, Riss...! Gile, loe lupa ama gue, ya ?" gerutu Ita pura-pura kesal.

" Maaf... saya benar-benar tidak ingat," ucap Harris, pesona indah bertebaran di bibirnya. Ia berupaya untuk seramah mungkin.

" Wah Riss...loe bener-bener deh. Gue gak terima, gue gak terima ya, masa loe lupa siy ama gue, gue Ita...Ita..." ujar Ita, sepertinya ia memang sengaja mengeraskan volume suaranya ketika menyebut namanya sendiri. Mungkin ia berharap, dengan demikian aku bisa mendengarnya.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang