Bab 34

12 2 0
                                    

Dadu telah terlempar...

Dan Ita telah menjadikan pertemuannya dengan Cyntia sebagai ajang sebuah permainan yang harus segera dituntaskan.

Begitukah bila seorang perempuan merasa telah dikhianati...? Dalam sebuah perselingkuhan yang banyak diminati oleh kaumku.

Perselingkuhan...?
Bisakah perilaku ini...
Dikatakan sebagai sebuah perselingkuhan ?

Bila aku mencintai Harris, benarkah aku telah menghianati istriku ?
Tapi, bila aku tak mengakui kecintaan ini, berarti aku telah menghianati hatiku sendiri. Menghianati cintaku yang perawan. Cintaku yang selalu bergelombang. Cintaku pada Harris yang tak pernah tergantikan...

Ita menatap ragu pada Cyntia...
Tampak sekali resah itu berselimut tajam dalam diamnya. Meski tak terdengar, sebenarnya ia turut larut dalam tangis yang menyesak dalam kesakitan. Dibuatnya segelas teh manis di sela keramaian kantin, tangannya mengaduk serupa hatinya yang teraduk-aduk, gula yang teraduk melarut bersama teh di dalam gelas. Tangannya terulur dan gelas itu-pun tersodor ke hadapan Cyntia.

" Minumlah... Tenangkan dulu pikiran loe, gue mau cerita sesuatu," kata Ita dengan berat. Pikirannya tengah menyusun sejuta kata yang ingin ia sampaikan.

Teh manis langsung terteguk...
Cyntia seolah ingin menghapus semua kepahitan yang terombang-ambing dalam dirinya dengan kemanisan yang mengalir, teh manis yang tersodorkan tersesap habis dalam sekejap.

" Gue mo ngomong mengenai Hans. Tapi gue minta loe jangan potong pembicaraan sebelum gue selesai bicara..." pesan Ita sebelum ragu yang menggantung dalam pikirannya terucap. Tajam tatapannya menancap di mata Cyntia.

Dan, entah kemana perginya semua kata yang selalu membela diri, hilang dalam persembunyian benak yang tak lagi mampu melawan. Cyntia tak menjawab, ia hanya mengangguk. Pasrah...

" Tapi gue gak percaya, Cyn. Gue gak yakin kalo Hans seperti itu..." kata Ita, badai keraguan kembali menghempas benaknya.

" Kenapa, Ta ? Memang ada apa sama laki gue ? Loe liat dia kenapa ? Apanya yang gak yakin ?" ketidak-sabaran Cyntia membuncah suasana.

Tajam mata Ita menghujam, mengancam. Cyntia kembali diam, menunggu pepat rasa yang terbebani pikiran. Ita menarik nafasnya...

" Sebenarnya udah dari kemarin-kemarin gue mo cerita, tapi gue kok gak enak rasanya. Gue tunda-tunda terus karena gue belom yakin, sampai sekarang-pun gue belom yakin. Tapi gue pikir ada baiknya juga kalo gue cerita sekarang ama loe..." Ita melihat reaksi Cyntia, " biar loe tau dan loe punya gambaran sendiri mengenai semua ini..." paparnya kemudian. Kedua tangannya saling berpelukan, saling meremas di atas meja. Gelisah, mengapung.

Cyntia masih diam. Sesuai perintah. Ia hanya menunggu. Atau Ita akan menghentikan ceritanya bila ia merasa pembicaraannya terpotong lagi .

" Loe ingat malam tahun baru kemaren...?"

Cyntia tak menjawab, ia hanya mengangguk, sekali.

" Si Hans gak pulang, kan...?" Cyntia kembali mengangguk. Ita menarik nafas, mengatur kata-katanya.

" Besoknya, gue-kan pergi, gue janjian ama si Vonny, makan di Pizza Hut..."

" Dimana Ta ?"

" Kelapa Gading..."

" Lalu, loe liat si Hans...?"

" Ya..."

" Sama orang lain ?"

" Ya..." kepala Ita mengangguk.

Lara menguasai wajah Cyntia.
Suasana menjadi sunyi.
Tapi hanya sesaat.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang