Bab 4

253 2 0
                                    


Gelap ruang yang terpaku berkabut oleh sisa asap yang terkulum di mulut dan terhembus memenuhi sudut- sudut ruang yang beku, memedar ketika tersentuh kerlap kerlip cahaya yang bertumpu saat denting irama bertalu.

Lara dan derita adalah sisi kehidupanku. Setia dan janji adalah getar degup jantungku. Serupa kepak sayap kupu-kupu yang terluka kutetap terbang mengitari bunga bermadu, meski terasa perih, walau terasa pedih. Pada hakikatnya cinta ini akan terus ada meski dengan atau tanpa kebahagiaan. Seringkali kuterpuruk, bangkit, terpuruk dan bangkit lagi untuk kembali terpuruk, tetap ku tak perduli, tetap saja kujalani kehidupan pernikahan ini dalam sebuah kuali penderitaan yang membuatku merana merindui bahagia yang tak juga datang mengada. Pada hakikatnya cinta adalah sebuah keindahan, cerita indah walau harus dihadapi dengan penderitaan. Demikian kuarungi beribu rasa yang tak beraturan di sudut hati yang terkekang oleh tali perkawinan, yang mengendur, mengencang dan mengendur untuk kembali mengencang.

Rasa memang tak pernah dapat dipilih. Apalagi rasa bahagia, takkan pernah datang begitu saja. Meski banyak yang mengatakan bahwa hidup adalah sebuah pilihan tapi siapa yang mau memilih hidup di bawah garis penderitaan, seperti kedukaan yang kadang masuk tanpa terundang, menyisakan nyeri yang berbuah kepahitan.

Aku menanti dalam sebuah jawab yang jauh dari pengharapan. Yang kadang menjawab tanpa adanya sebuah tanya. Yang bertikar dengan dingin, yang berselimut dalam kebekuan. Dan yang mencintai tanpa merasa dicintai. Selalu merintih dalam sepi yang terjeruji.

Waktu telah berlalu selama delapan tahun, tapi belum juga jiwaku keluar dari penjara pengharapan. Penjara asa dan sebuah keinginan untuk istriku berubah. Manusia memang tak pernah bisa diubah bila hatinya tak ingin berubah, seperti angin yang bisa berubah arah dalam hitungan detik atau seperti gelap yang berubah menjadi terang. Dan ternyata, mengubah sifat manusia tidaklah semudah pandangan yang seringkali terlihat oleh kasat mata.

Bersama Cyntia, jangankan dapat mengikis malam-malam sepi berdua, bercakap-pun sudah sangat sulit kami lakukan. Kadang aku hanya berdiam dalam kamar sepi yang berbalut rindu yang tak berhenti memijar tanpa pernah kutahu apalagi yang harus kulakukan, hanya diam menatap sepi, hanya termanggu bersama sunyi...
    Beginikah rasanya mencintai...?
    Tanpa dapat merasakan cinta
    Dari orang yang dicintai...

Ita, thanks untuk segala upaya yang telah kau lakukan untukku. Ada damai yang menyelubungi hati ini ketika kuingat malam itu. Dirimu berseteru dengan dirinya hanya untuk menunjukkan bahwa kau begitu perduli padaku.

Dan...
Aku akan selalu mengingatnya Ta...
Serupa tinta yang menodai kemeja kerjaku, warnanya takkan terhapus begitu saja. Kau tahu, aku takkan pernah melupakan semua kejadian itu, saat perlahan kau dekati diamku, saat kulihat decak kagummu pada ketegaranku.

Dan lucunya, kau terlihat begitu tertekan oleh keadaanku, padahal akulah yang seharusnya merasa tertekan, karena akulah subjek penderita dari sebuah cerita yang ada, bukankan begitu, manis...?

Sekarang, aku semakin gamang Ta...
Aku semakin tak mengerti pada keadaan yang semakin menjejaliku dengan kesepian yang membuatku semakin terlihat bodoh dan konyol. Aku merasa masuk dalam sebuah perkawinan yang semu, tanpa romantisme, tanpa erotisme, tanpa kerinduan yang mendalam, terpenjara  dan hanya membuat rasaku semakin hari semakin terasa sesak dalam tekanan-tekanan yang membuatku tetap ingin bertahan meski merasa tertekan begitu dalam.
    Salahkah aku...
    Bila terus mencintainya, Ta...?
    Mencintai Cyntia...
    Yang kurasa...
    Tak pernah mencintai diriku...

Cinta ini sungguh-sungguh berirama pilu. Cinta yang membuat jiwaku menjadi kelu dalam kesedihan yang yang tak pernah mau berlalu. Cinta yang seperti awan mendung, terus saja memayungiku dan membuatku gamang dalam kedinginan yang beku. Aku marasa begitu menderita, mengagungkan kesetiaan dibalik luka yang terus menganga.
    Ooohhh Ta...
    Haruskah semua ini kuakhiri...?
    Haruskah terus menunggu...?
    Berharap pada malam...
    Terjaga di ujung mimpi...

Angin mulai tertawa...
Memandang rapuhnya ketegaran jiwaku. Dahan-dahan ramai berbisik, membicarakan lemahnya kekuatanku. Dan malam, kurasakan semakin panjang menjerang sepi yang berlara, tapi kesedihan itu semakin enggan beranjak dari tahta deritaku.
    Aku benci keadaan ini Ta...
    Sungguh...
    Aku begitu sangat...
    Membencinya...

                            *****

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang