Bab 31

15 0 0
                                    

" Kau sendirian...? Suamimu kemana...?"

" Dia, dia sibuk sekali awal tahun ini, Ma. Penjualannya sedang ramai, makanya gak sempet jemput Mama hari ini..." jawabnya, sekeping dusta berupaya menyembunyikan gusar yang tak pernah usai bertembang. Dan pertanyaan itu, dirasakan bagai sengat yang menembusi kulit yang menyakiti sampai ke relung hati.

" Tumben, gak seperti biasanya dia begitu ?" ada curiga yang menggelitiki perasaan. Beberapa saat kemudian langkahnya berhenti, trolley yang terdorongpun ikut berhenti tepat di depan tubuhnya.

" Namanya juga karyawan, Ma. Punya tanggung jawab sendiri, kan," Cyntia meredam emosi yang meledak-ledak dalam sanubarinya. Tak tahu bagaimana harus bercerita, tapi ia memilih untuk diam dan menyimpan perasaannya sendiri, merasa percuma berbicara pada ibunya, apalagi mengenai urusan rumah tangganya yang kini terasa meretakan jiwa.

" Kau naik apa tadi...?"

" Taksi..." jawab Cyntia tanpa menoleh. Tangannya melambai, sebuah taksi berhenti lalu ia bergegas membenahi koper ke dalam bagasi.

" Kau juga tumben, bisa melakukan semua ini tanpa suamimu," pintu taksi terbuka, wanita itu duduk di dalamnya, mendahului Cyntia yang masih sibuk menutup bagasi.

Cyntia menarik napas. Emosinya yang hampir meledak mencair jadi sebuah kesedihan, lalu mengalir ke seluruh tubuhnya. Tapi meskipun begitu, ia tak ingin terlihat bersedih. Ditekannya perasaannya dalam-dalam. Setelah selesai mengemasi koper, ia ikut duduk di samping ibunya.

Supir taksi menyalakan argo, menginjak pedal gas setelah Cyntia menyebutkan tujuannya.

" Sekali-sekali boleh, kan ??? Mama ini bagaimana siy, dia juga kan punya kesibukan..." sergah Cyntia berupaya menenangkan gejolak hatinya.

" Kalian tidak sedang bertengkar lagi, kan...???" mata tua itu menatap curiga dalam gelap.

Cyntia menggeleng dalam pekat.

" Kalaupun sedang bertengkar, apa Mama pernah lihat kalau dia gak ngantar atau jemput Cyntia...? Dia memang benar-benar lagi sibuk, Ma. Hampir setiap hari lembur," elaknya pelan, berupaya menekan suaranya agar tak terdengar seperti keluhan.

" Ya sudah kalau begitu," ujar orang tua itu lega sambil menyandarkan kepala, lalu matanya terpejam, melepaskan penat yang masih tersisa. Kelelahan berselimut...

Cyntia tak lagi bersuara...
Bibirnya bungkam...
Hatinya merintih, menangis...

Tidakkah kau rasakan, Mama ?
Kepedihan yang menyayat
Hati yang terkoyak
Haruskah aku menangis
Agar kau dapat mengerti
Sesuatu yang sedang terjadi

                             *****

Setelah mengantar ibunya, Cyntia langsung pulang.

Lelah, satu alasan yang paling tepat untuk tidak terlalu lama berada di dekatnya dan berlalu sebelum ibunya bertanya lebih banyak lagi tentang diriku, suaminya.

Dengan taksi yang sama ia kembali.
Membelah malam yang terlelap...
Dalam dingin yang sepi...
Di dalam gelap yang sunyi...

Tubuh Cyntia menggigil...
Tapi bukan hawa malam yang membuatnya demikian. Perasaan dalam dirinya menghentak seluruh dinding jiwa, begitu keras, begitu kencang, hingga ia tak lagi dapat mengehentikan air yang mengalir dari sudut-sudut hatinya.
Dalam diam ia menangis...

Jalan telah sepi...
Toko-toko-pun sudah tutup...
Beberapa gedung yang dilaluinya telah gelap...

Semua telah terlelap dalam gurat malam yang hitam. Cyntia mendekap tubuhnya dengan kedua tangannya sendiri, mencoba bertenang dalam sendiri yang begitu sepi. Air matanya masih mengalir, tanpa isak, tanpa guncangan saat taksi yang ditumpanginya terus menyisir jalan.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang