Bab 18

23 4 0
                                    

Aku tengah menunggu Cyntia
saat ponsel di tanganku bergetar. Sebuah getar yang mengingatkan diriku ketika berada dalam dekapnya. Getar hatiku sendiri, menggelepar dalam kecintaan Harris yang menenggelamkan segala rasa dalam perasaanku.

Ada bahagia terselip, melesat jauh ke dalam lubuk hati. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, terjalinnya hubungan asmara antara aku dan dirinya, seseorang dari masa laluku, yang berawal dari sebuah persahabatan. Persahabatan yang sangat mengikat dan terikat...

Kejadian semalam belum lagi hilang dalam ingatan. Tentang tak sempurnanya pelepasan busur yang menjadikan hangat dalam dingin sebuah perkawinan. Tentang hitamnya gairahku yang tertikam bayang tak terundang saat hasrat itu datang.

Tapi, biar bagaimanapun, Cyntia tak boleh tahu tentang hubungan ini. Aku tak ingin mengecewakannya. Dan aku harus bersikap seolah tak pernah terjadi apa-apa, walau yang kualami bersama Harris merupakan gambaran buram masa lalu yang terhilang. Sebuah rasa yang tertunda dari sekeping cinta yang tersembunyikan di balik mata hati yang terbutakan oleh sisi duniawi yang lebih  mengutamakan kelayakan.

Sejujurnya kukatakan, bila aku sangat kehilangan saat ia berlalu dan meninggalkan-ku dalam kesendirian. Ada sedih, ada rasa sepi yang kembali bergumul dalam rerupa sisa bahagia yang ia sajikan ketika kakiku harus melangkah, keluar dari dalam mobil dan melihat duka matanya saat harus melepaskanku. Tapi ia lambaikan juga tangannya, pergi dan menghilang di tikungan jalan tanpa dapat ku-bayangkan hidupnya tanpa diriku lagi, begitu juga sebaliknya, hidupku tanpa dirinya, tanpa jelma bahagia yang sesaat saja terbentuk dalam kecintaan ini. Aku dan dia memiliki persamaan dalam dua jiwa yang serupa. Sama-sama ingin memiliki, sama-sama ingin dicintai. Itu saja. Titik.

Dan saat tanganku membuka pagar. Mengayunkan kaki, setapak dua langkah. Baru ku-sadari bahwa diriku telah kembali...
Kembali pada kehidupanku...
Kembali pada isteriku...
Kembali pada kesepian...
Kembali pada kesunyian...
Merana...
Hampa...
Dalam jerit hati tanpa kata...

Dan, tentunya aku akan kembali pada jerat lara isteriku. Hari-hari yang membuatku tersiksa namun tetap harus kujalani. Bersimpuh jiwa dalam hampa tanpa dapat menenangkan cinta dan rasaku yang semakin gelisah. Sendiri dalam kesendirian yang menyiksa meski hidup dalam keindahan yang bernama tali perkawinan.

Perlahan dalam diam, mataku terpejam. Berharap pada kesempatan yang akan mempertemukan kami di masa-masa yang akan datang. Dengannya, kekasih jiwaku yang menanti tanpa lelah, yang terpaku di ketersembunyian tanpa dapat kumiliki.

Oleh karenanya telah tumbuh benih-benih kecintaan dan rasa yang tak ku-mengerti keberadaannya. Menjalar serupa daun. Merambat serupa akar. Mencengkeram dan memenuhi hati seutuhnya tanpa lagi menyisakan celah dalam kesempurnaan bahagia.
Ooohhh... cinta janganlah kau pergi meninggalkan diriku.

Aku masih menunggu...
Duduk di belakang kemudi. Separuh tubuhku masih berada diluar. Mataku menatap nanar pada sisa butiran air yang menitik di rerumputan. Pikiranku terjebak, tertatih pada sebentuk wajah penuh harap. Aku kembali memikirkannya tanpa menyadari isteriku yang telah duduk di bangkunya, di sebelah kemudi, di sampingku.

Aku masih termanggu. Ponsel di tanganku masih terpaku. Rasanya seperti sebuah mimpi. Tapi aku selalu berharap bila semua yang kualami adalah sebuah kenyataan. Kenyataan yang benar-benar nyata dalam kehidupan yang tak lagi bersemu kelabu. Dan tak'kan kubiarkan rasa ini menjadi layu. Tetap akan tersimpan dan aku akan menutupinya rapat-rapat dalam kediaman.

" Ayo Hans, nanti aku terlambat. Vonny menungguku hanya sampai jam sebelas..." dengan tak sabar Cyntia membuyarkan semua lamunanku. Bergegas, kumasukan ponsel diantara kedua pahaku. Menyelipkannya diantara dua anggur keperkasaanku, sesuatu yang mengingatkanku pada Harris, saat ia menyelipkan kekerasan itu di tempat yang sama ketika mencumbuiku.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang