Bab 13

43 2 0
                                    

Pesawat udara
yang membawa tubuhnya masih berputar-putar di atas awan. Seperti biasa, lima detik sebelum telinganya mendengar roda keluar dari perut pesawat, Cyntia telah mengenakan sabuk pengaman. Renut jantungnya berdebar keras saat roda-roda pesawat menyentuh aspal. Denyutnya seolah berlomba dengan deru yang berkeliling mengitari landasan untuk yang terakhir kali.

Keindahan matanya melirik pergelangan tangan, melepaskannya dan memutar arah jarum jam berlawanan arah. Waktu sekarang menunjukan pukul limabelas tigapuluh menit saat Indonesia bagian barat. Satu jam perbedaan waktu dengan Singapore terhapus sudah. Lalu dengan sebuah senyum ia mengembalikan arloji itu pada tempatnya semula, melingkar pada pergelangan tangannya.

Tigapuluh menit sebelum pesawat mendarat, aku sudah menunggunya di terminal kedatangan. Cyntia sudah tahu itu. Aku memang selalu begitu, selalu datang lebih awal. Menjemput dan menyambutnya saat ia keluar dari keramaian dan mendorong semua barang-barangnya.

Sesuai rencana, Cyntia hanya beberapa hari saja singgah ke negeri Singa itu, sekedar melepas rindu dengan kakaknya yang telah menetap disana sekaligus menemani ibunya.

Ia berencana kembali ke Jakarta, tentunya setelah membeli barang-barang yang cukup bagus. Biasanya stelan-stelan blouse berwarna khaki lembut, beberapa potong kemeja warna pastel dan beberapa kotak cokelat padat untuk murid-muridnya.

Seperti tahun-tahun lalu, biasanya, ibunya akan menetap lebih lama, menikmati liburan sambil menyambut datangnya tahun baru dengan puteri sulungnya.

Cyntia suka sekali berencana untuk sesuatu yang akan ia kerjakan, meski kadang rencana yang telah tersusun dengan matang harus berantakan tanpa dapat tercegah. Dan ia sangat membenci bila hal itu terjadi meski sebenarnya kegagalan itu adalah akibat ulahnya sendiri. Terlalu banyak membuang waktu untuk hal-hal yang tak perlu.

Cyntia suka merancang sesuatu untuk satu hal yang akan datang. Ia senang begitu. Selalu mengatur waktu dan kehidupan yang ia miliki dengan rapi. Orang lain, mungkin akan merasa bosan dengan cara seperti itu. Tapi baginya, ia tak pernah merasa terganggu, apalagi bila ia merasa tidak pernah menganggu orang lain.

Itulah motto hidupnya.
Yang tanpa ia sadari bila semua itu sangat mengganggu semua aktivitasku karena dibalik semua rencananya selalu terselip bagianku untuk selalu mengikuti keinginannya. Dan aku, sama sekali tak boleh mengelak dari semua itu, apalagi menolaknya. Aku harus menemaninya, kemanapun ia pergi atau menjemputnya dimanapun ia berada.
Tidak boleh tidak...
Bagaimanapun...
Aku harus mengikutinya...
Titik....

Dalam kehidupan pernikahan kami, aku bagaikan seekor sapi yang tercokok hidungnya. Harus selalu mengikuti segala rencana yang telah tersusun sedemikian rapi tanpa jeda dan tak boleh ada kegagalan sama sekali. Diam dan menurut tanpa dapat menikmati artinya sebuah kebersamaan.

Berharap untuk bisa dicintai, berharap untuk dapat dihargai. Berharap agar tak terluka.
Berharap memperoleh damai
Dan bahagia dalam kebersamaan yang sempurna. Tapi semua itu hanyalah sebuah pengharapan dan mimpi-mimpi kosong yang terbelenggu dalam jiwa, karena setiap kali hanya kekecewaan yang ia  sesapkan dalam kejengkelan yang menorehkan luka yang semakin memborok.

Aku mengerti.
Dan sangat mengerti  bila ia memang mengasihiku. Tapi caranya mencintai sangat aneh dan berbeda. Ia lebih sering membuatku terjepit dalam kecewa yang kerap meluapkan amarah. Ia selalu merasa dirinya yang paling benar, menganggap sekelilingnya selalu salah dan lemah. Keras kepala dan sangat rumit untuk dapat kumengerti hingga seringkali membuatku mengalah untuk sesuatu yang kuanggap salah.

Pernah suatu ketika, kucoba menyampaikan sesak hati saat ia terlambat keluar dari tempatnya mengajar. Tapi bukan penyesalan atau permohonan maaf yang kuterima. Sebaliknya, aku dipersalahkan dengan segala argumentasi yang dapat membebaskan dirinya dari rasa bersalah. Ia berkelit lidah dan mengatakan bahwa sebenarnya akulah yang terlalu cepat menjemputnya, meski ia sendiri tahu bahwa waktu yang ia janjikan sebenarnya telah lewat tigapuluh menit dari menit yang telah ditentukan. Bila hal ini terjadi baru sekali, mungkin bisa dimaklumi. Tapi ini telah seringkali kualami hingga menorehkan kejengkelan di dalam hati.

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang