Bab 2

423 5 0
                                    


Pernah suatu hari...
Kuutarakan persoalan ini pada sahabat terdekat Cyntia. Ia seorang wanita. Muda, lincah, penuh gairah hidup. Dan kebetulan, ia berjarak dekat dengan diriku...

Dengan penuh kesabaran, didengarkannya semua keluh kesah yang terlantun dari bibirku. Mendeteksi seluruh kata yang terurai begitu saja dari bilik hatiku yang kemuduan lebur dalam nurani kewanitaannya.
Tapi itupun terjadi...
Karena aku terpancing oleh ketukan pertanyaan yang keluar terlebih dahulu dari kedua belah bibir merahnya...

Namanya Ita.
Sering kami berpergian bersama. Bersantai di cafe ataupun saat belanja ke mal. Aku tahu, ia sering memperhatikan keberadaanku, memperhatikan wajahku yang menurutnya memiliki kekuatan dan kepasrahan yang dalam. Lembut yang menyimpan ketenangan. Begitu katanya. Sering ia menatapku diam-diam, seolah ingin menguliti dan mengelupas tiap duka yang tersembunyi di kedalamanku, seolah ingin menerobos kehampaan yang meraja dalam tahta kediamanku.

Aku sangat berterima kasih sekali padanya. Ita adalah satu-satunya dari sekian banyak sahabat Cyntia yang peduli terhadapku, terhadap kepasrahan, terhadap luka yang diam-diam akan membusuk dalam hatiku.

Ita sangat mengerti bahkan sangat memahami sifat Cyntia.
Keduanya telah bersahabat cukup lama, lebih dari enam tahun. Ita hafal setiap sifat, dia mengerti setiap perasaan, walau sesungguhnya, dia bukanlah tipe wanita yang suka mencampuri urusan orang lain.

Hari itu, tanpa sengaja dia melihat kusut wajahku. Wajah yang tanpa kusadari telah penuh dengan guratan-guratan halus penuaan. Wajah yang telah membingkai lingkaran hitam di kedua kelopak matanya. Dan aku tahu, iapun telah melihat kesedihan yang berkeriap di dalamnya. Satu perbedaan yang mencolok pada diriku, saat pertama kali kami bertemu, dulu, lima bulan setelah hari pernikahan kami, saat aku mengoolok-oloknya dan ia mencandai kami yang masih berstatus pengantin baru.

Matanya nyalang menatap kesedihanku. Mungkin telah ditemukannya sebuah keinginan yang tak tergapai di dalamnya, sebuah kecintaan yang mengambang dan tak lagi bergelombang.

Ita menggeser mendekat, matanya terus mengekor adaku. Aku masih diam, tersekap kesendirian yang gamang di sudut kursi. Sementara Cyntia, kubiarkan ia bersuka ria dengan kawan-kawannya di sudut lain. Detik-detik yang selalu membuatku tersiksa, detik-detik yang tak pernah ia sadari tentang penting pengadaannya dalam adaku.

Masih kusimak sepi. Lebur dalam sunyi tenggelam dalam sendiri. Ita semakin dekat adaku. Tapi aku semakin diam, bergeming dalam timangan duka yang menyusui hampa. Inginnya kuberlari, ke perbatasan laut dan menenggelamkan diri serta merasakan hempasannya yang jauh. Tapi aku tak bisa, aku memang tak mampu melakukan sesuatu untuk kehidupanku sendiri. Sebuah kenyataan yang menyedihkan, selalu kalah oleh keadaan, selalu kalah di bawah tenda keegoan seorang istri.
Dan sementara...
Ita semakin dekat menghampiri sepiku...

Dalam diam kutatap matanya yang sarat menyembunyikan rasa. Rasa ingin tahu akan gelora yang tengah berkuasa dalam hati dan pikiranku. Tersenyum padat dan aku tetap berusaha menyembunyikan misteri yang belum terungkap oleh banyak tanya yang kutemukan dimatanya.

Sekian detik berlalu...
Kami terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sementara aku sibuk menyusun kembali langkah letih cinta yang tengah berjalan tertatih-tatih. Memaknai susunan kata dan meresapinya lebih dalam lagi, arti sebuah pernikahan dan pengorbanan.
Tapi apa yang kudapat...?
Hanya hingar dan pusing...

CINTA TERLARANG CINTA TERINDAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang