Keringat tak berhenti mengucur dari pelipis Nara. Beberapa gerakan tubuh ia lakukan bersamaan dengan jurus-jurus pun tak henti dipelajarinya. Sabuk hitam yang melengkung di pinggangnya membuat dirinya tidak pernah berhenti untuk belajar. Menurutnya, Taekwondo bukan hanya sekedar cabang olahraga. Melainkan sebuah peredam rasa sakit, untuk batin maupun pikirannya. Ia serasa melepas semua beban ketika ia sudah melakukan pergerakan dalam teakwondo.
"Huhh." Nara terduduk di kursi resto ibunya.
"Kamu latihan lagi? Gaji pengajar taekwondo kan gak seberapa."
"Nara jadi asisten orang kaya bu," ucapnya seraya meminum segelas air yang tergeletak di atas meja.
"Apa? Orang kaya? Ganteng gak? Nara, kamu harus perawatan wajah." Ucapan Bu Iren membuat Nara bingung sendiri. Ia baru bicara sekali, tapi respon sang ibu begitu antusias.
"Kok perawatan wajah?"
"Ya, siapa tau dia bisa naksir kamu, jadi kan ibu bisa punya menantu orang kaya."
Lagi dan lagi. Keinginan bu Iren yang ingin merubah nasib keluarga, terus terdengar oleh telinga Nara. Dan ujung-ujungnya, Nara lah yang kena lagi.
"Ibu apa-apaan sih? Nara bukan cewek murahan."
"Iya ibu tau, maaf. Dari pada kamu terus jalin hubungan sama si Obi yang gak jelas ada di mana itu."
"Kak Obi ke Surabaya bu, jangan sembarangan ngomong, gak baik."
Nara bahkan masih terus membela sang kekasih di depan sang ibu. Padahal ia tahu, jika ibunya memang tak merestui penuh hubungan dengan Obi ketika laki-laki itu memutuskan untuk bekerja di luar kota dan meneruskan hidupnya sendiri.
"Tapi ibu gak suka sama Obi, dia serasa gak tulus sama kamu nak."
"Terserah ibu deh. Nara mau fokus sama taekwondo Nara, juga kerjaan Nara. Masalah kak Obi, Nara gak mau bahas."
Beberapa makanan mewah sudah tersedia di meja makan. Para chef dapur sudah menyediakannya dengan baik. Arion dan Arga terduduk di kursi dengan wajah saling mendatar seperti biasanya. Walaupun makan dengan satu space, mereka bahkan serasa berada di alam yang berbeda.
"Arion, pencapaian kamu bagus juga. Papa kasih kamu cuti buat ngerjain skripsi sampai selesai." Pak Edwin tersenyum menatap sang putera bungsu.
Arion terdiam dengan terus memakan beberapa jamuan yang tersedia. Matanya menatap canggung Pak Edwin, dan sedikit anggukan Arion berikan untuk menimpali ucapan Pak Edwin. Ya setidaknya walaupun hanya anggukan, Pak Edwin senang Arion sudah meresponnya. Sementara di sisi lain, wajah terkejut terlihat dari visual Arga.
"Apa? Arion dapet cuti? Enak banget. Seumur-umur gue kerja di bawah naungan Papa, kayaknya belum pernah tuh dikasih cuti. Selalu ikutin peraturan perusahaan."
"Kalau skripsi kamu gak benar, Mama bakalan pindahin kamu ke Finland ya. Awas kamu!"
Bu Gina bahkan selalu mengancam anaknya untuk berbuat baik.
"Ma, kenapa si Rion terus yang diajukan ke sana ke mari, kenapa bukan si Arga aja," ketus Rion mengerutkan dahinya sinis melirik Arga.
Sudah terlihat bahwa laki-laki yang bernama Arion itu memang belum sepenuhnya dewasa. Ia ternyata risih jika lebih diperhatikan oleh orangtuanya. Arion dibesarkan tanpa adanya seorang Ayah sejak lahir. Itu kenapa Bu Gina begitu overprotektif terhadapnya, walau sedari kecil Arion memang terkenal anak yang susah untuk diatur. Kehadiran Pak Edwin memberikan sedikit kelegaan bagi Bu Gina. Sekaligus, ia bersyukur kalau Pak Edwin selama ini sangat menyayangi Arion.
"Kamu tau, Arga terkenal attitudenya di sekolah, belum lagi IPK-nya yang tinggi di universitas, harusnya kamu contoh kakak kamu itu." Bu Gina menceramahi Arion.
KAMU SEDANG MEMBACA
MILLION DOLLAR MAN
General FictionKisah seorang cowok Crazy Rich populer yang tidak pernah paham arti dari sebuah perasaan dan kehidupan. Hidupnya berubah ketika dirinya melempar lembaran dolar pada seorang wanita. Dan berujung untuk bertemu setiap hari karena kejadian pengeroyokan...