Nara terlihat canggung depan Arion, begitupun Arion sendiri. Padahal, menjadi asisten Arion, sudah seperti sarapan di setiap pagi Nara. Nara sudah nyaman berkeliling di istana Edzard ataupun di kantor tempat Arion bekerja. Tapi kali itu, perasaannya sungguh aneh ketika ia berhadapan dengan sang majikan. Selama di kantor, Nara berusaha membantu Arion untuk menandatangani berkasnya yang sempat terbengkalai. Tak disangka, gadis pintar yang dapat menirukan tanda tangannya itu sungguh bermanfaat untuk Arion. Namun, semenjak tadi Nara tak banyak bicara dan mengeluh seperti yang biasa ia lakukan selama ini selama bekerja dengan Arion. Rasa penasaran itu membuat Arion yang fokus membaca setiap dokumennya teralih pada Nara di sofa sana yang fokus juga menandatangani berkas.
"Ekhemm. Ambilin gue berkas itu!" Arion menunjuk berkas di sebuah rak. Menyuruh Nara untuk mengambilkannya.
Nara mengangkat alis matanya. Ia melepaskan pulpennya sejenak dan beranjak untuk mengambil berkas yang dipinta Arion dari sebuah rak. Satu berkas Nara berikan tanpa adanya suara dari tenggorokan Nara. Ia kembali lagi pada posisinya duduk di sofa untuk menyelesaikan berkas. Namun, hanya sampai Nara memegang pulpennya, suara perintah keluar lagi.
"Ambilin gue air."
Perintah demi perintah Nara lakukan dengan baik. Walau sebelumnya ia bisa merasa jengkel karena berkali-kali Arion menyuruhnya. Namun saat itu, keanehan terjadi pada Nara. Tak ada ungkapan kesal atau jengkel ketika Arion menyuruhnya. Dan anehnya, Nara mengikuti setiap kalimat perintah yang Arion berikan padanya tanpa ada rasa kesal.
"Gue mau air sirup."
Keanehan Nara membuat Arion penasaran dan malah jatuh untuk menguji Nara lagi dan lagi. Menurut Arion, Nara lebih menakutkan ketika ia hanya berdiam saja tanpa adanya amarah yang biasa ia keluarkan.
"Tadi lo cuma bilang air."
Ya, benar. Kalimat sanggahan. Itu yang Arion mau. Ia menyeringai senyum ketika Nara akhirnya membalas ucapannya.
"Cepet ganti lagi."
"Nih." Lama-lama, Nara akhirnya merasa jengkel. Ia menaruh gelas ke meja hingga berbunyi keras.
"Gak pake es? Gue mau pake es," ketus Arion.
"Tapi lo gak bilang!"
"Inget kontrak lo belum abis. Marah-marah doang bisanya."
"Arrgghhh," batin Nara.
"Nih!"
Nara terduduk di sofa, menunggu Arion menyelesaikan beberapa berkas laporannya. Entah karena mengantuk atau kelelahan setelah menandatangi berkas-berkas Arion, Nara mulai memejamkan beberapa kali matanya walaupun dia harus tetap memaksa matanya untuk terbuka.
"Oyyyy," keluh Arion membangunkan Nara.
"Rion kenapa lo?" Nara begitu panik, ia lantas menghampiri Arion di kursi kerjanya.
"Kepala gue masih nyeri rasanya," keluhnya dengan ekspresi sedikit manja.
"Yang mana, biar gue pijit," ucap Nara dengan polosnya membuat Arion melotot.
"Jangan!"
"Tadi katanya sakit."
"Padahal kan gue niatnya mau ngerjain dia. Dia malah gak canggung buat mijit kelapa gue. Yang ada nanti jantung gue bisa aja bocor karena sentuhan dia," batin Arion. Matanya memencar canggung dengan lucu.
Telihat di mata Arion, luka memar di tangan Nara. Hal itu memecah fokusnya. Ia mengerutkan alisnya dengan keheranan menatap lengan Nara dihiasi oleh luka.
"Tangan lo kenapa?" Arion meraih tangan Nara dengan kasar membuat Nara yang merasakan kantuk bangun dengan kaget karena tarikan Arion.
"Gak apa-apa," jawab Nara seraya melepaskan lengannya dari genggaman Arion perlahan. Matanya memutar canggung dan menutupi setiap lukanya dari Arion.
KAMU SEDANG MEMBACA
MILLION DOLLAR MAN
General FictionKisah seorang cowok Crazy Rich populer yang tidak pernah paham arti dari sebuah perasaan dan kehidupan. Hidupnya berubah ketika dirinya melempar lembaran dolar pada seorang wanita. Dan berujung untuk bertemu setiap hari karena kejadian pengeroyokan...