Arion mondar-mandir di dalam ruang hotel tempat ia menginap saat itu. Dirinya mulai dibuat cemas. Ia sedikit menyesali perbuatannya yang selalu gegabah. Hartanya ternyata tak digunakan semestinya. Ia hanya bisa memodalkan apa yang ia mau, tanpa mengontrol setiap pekerjaan yang sudah dibuatnya.
"Sebenarnya, siapa sih tuh orang? Kenapa dia selalu gangguin gue. Ini negara orang, tapi masih aja ada yang mau ngancurin gue. Siapa sih di balik ini semua. Gue rasa dia punya dendam sama gue, tapi siapa? Gue juga gak ngerasa," gumamnya bingung.
Ponsel Arion berdering keras di atas kasur empuknya. Dirinya lantas terduduk menggapai ponsel yang sedari tadi berbunyi keras.
"Nara nelpon gue? Tumben." Arion menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Halo, kenapa?"
"Lo gak apa-apa? Lo luka gak?" Nara cemas lewat sambungan ponsel tersebut.
"Luka? Ehey, gue gak lagi perang. Gue di hotel lagi duduk."
"Gimana Bar lo?"
"Gue ini Arion, masalah segede apapun gue bisa nuntasin semuanya. Eh terus, ada apa lo nelepon gue? Kangen lo ya sama gue?" Pertanyaan Arion lewat panggilan telepon seketika membuat Nara blushing mendengarnya.
"Apa? Jangan pede, gue ... gue cuma mastiin kalau semuanya baik-baik aja."
Seketika Nara menutup teleponnya tiba-tiba.
"Ih, kenapa nih bocah satu? Bilang aja kalau dia kangen, apa susahnya coba?" Arion terkekeh.
"Saya akan pantau semuanya dari Indonesia. Saya mau nuntasin kuliah saya. Saya gak ada waktu terus-terusan di sini." Arion melangkah pergi ke pesawat yang hendak take off, langkahnya ditemani Pak Darma kali ini.
Sampai di Indonesia, Arion ditunggu beberapa orang keluarganya di ruang keluarga Edzard.
"Arion, setengah investasi Papa sudah salurkan pada Mr. Mark untuk pemberesan juga pembangunan kembali cabang Bar kamu di Chiang Mai. Juga untuk kasus yang akan ditangani polisi Thailand di sana sudah Papa bicarakan." Pak Edwin mengagetkan Arga.
Ia terkejut ketika sang Papa mengulurkan tangannya sendiri untuk membantu Arion, si putera sambungnya. Arga tak habis pikir kali ini dengan Papanya sendiri. Anak yang tak berpengalaman itu bahkan selalu dikasihani oleh sang Papa. Hal itu membuat batinnya bertanya-tanya.
"Makasih Pa atas bantuannya."
"Kamu gak apa-apa kan?" Bu Gina cemas seraya memegangi pipi puteranya.
"Ma, Rion gak apa-apa. Berhenti perlakuin Arion kayak anak kecil," ucapnya malas hendak pergi ke kamarnya.
Arga hanya menatapnya datar tanpa ekspresi apapun kala itu. Namun, sedikit tersirat di matanya kala sebuah kedengkian mulai muncul di benaknya.
"Gue bener kan? Gue gak mengutak-atik permainan atau harta karun lo itu. Dengan sendirinya, harta karun itu datang ke gue," bisik Arion tersenyum menyeringai di samping telinga Arga.
Arga hanya tertegun. Ia berusaha untuk memendam emosinya. Padahal, tangannya sudah gatal ingin sekali memukul orang yang telah mengejeknya langsung melalui telinganya itu.
Sampai di kamar, Arion lantas merebahkan asal tubuhnya ke kasur empuk nan mewah. Ditatapnya atap langit kamarnya. Mungkin Arion saat ini, sedang menyesali perbuatannya yang selalu gegabah akan hal apapun. Sekarang, ia ingin belajar dewasa untuk semuanya.
"Teori orang jahat selalu panjang. Lumpuhkan dulu musuh baru musnahkan. Kalau gue sampe tau orang itu, gue akan lumpuhin hidupnya, bajingan!"
Di sisi lain, semua pikiran buruk itu hilang kala Arion tiba-tiba saja mengingat panggilan teleponnya bersama Nara saat di Thailand. Arion membayangkan semua wajah Nara, bagaimana dia kesal, jengkel karena dirinya, wajahnya begitu menyebalkan hingga Arion terkekeh mengingat semua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MILLION DOLLAR MAN
Ficção GeralKisah seorang cowok Crazy Rich populer yang tidak pernah paham arti dari sebuah perasaan dan kehidupan. Hidupnya berubah ketika dirinya melempar lembaran dolar pada seorang wanita. Dan berujung untuk bertemu setiap hari karena kejadian pengeroyokan...