Terlihat gadis yang merasa risih karena terus diikuti seorang laki-laki. Siapa lagi kalau bukan Bella dan Bani. Dua B itu serasa tak ada selesainya. Mereka mempunyai masalahnya masing-masing. Terlebih lagi masalah cinta yang bertepuk sebelah tangan bagi Bani. Ia tak pernah menyerah untuk Bella walau sekeras apapun Bella menolak. Ia melihat Nara sudah datang karena di telepon olehnya sebelum itu.
"Cabut yok! Ayo pergi, gue males ada dia nih."
"Lo manggil gue, cuma buat jauhin lo dari cowok kekar ini?" tanya Nara dengan raut kebingungan.
"Bantuin gue kali ini please. Gue serius sama Bella, gue suka sama dia, izinin gue buat ajak dia makan kali ini aja," bisik Bani pada Nara membuat Bella menarik Nara untuk menjauh darinya.
"Lo mau gue bogem?" bisik Nara membuat mata Bani memencar canggung. Dengan sabuk hitam melekat di pinggangnya menandakan tingkat bela diri taekwondonya begitu tinggi. Nara bahkan rela datang setelah melatih taekwondo demi menemui Bella sahabatnya yang ia dengar Bella berbohong pada dirinya kalau ia sedang sakit di kampus. Dasar gadis itu.
"Lo kenapa sih Bell? Gue bukan bodyguard lo. Lo bohongin gue lagi."
"Hehe maaf Nar. Habisnya gue risih sama dia."
Bella juga Bani akhirnya bisa makan bersama. Tapi kali itu, Nara harus ikut dengan mereka.
"Gue ganti pakaian dulu," ucap Nara sumringah. Makanan gratis? Siapa yang ingin menyia-nyiakannya, pikir Nara.
"Ah elah, tau gini gue gak mau deh. Kenapa sih, si tangan kasar itu ikut. Tapi gak apa-apa deh, yang penting gue bisa deket Bella," batin Bani.
Telepon Nara berdering keras, hingga membuatnya tersedak karena suara ponselnya sendiri. Sampai di rumahnya, sebuah pertengkaran dilihatnya. Suara ribut saling menimpahkan kata terdengar di pendengaran Nara. Yang baru saja menelponnya adalah Kaffa, adik laki-laki Nara yang sudah tidak tahan melihat semua hal itu.
"Cukup!" Teriakan keras Nara menghentikan pertengkaran antara ibu dan Ayahnya sendiri.
"Mau sampe kapan sih bu, yah, kalian bertengkar terus? Kalian gak liat, di rumah ini ada Kaffa, apa pantes dia ngeliat semua ini?" ketus Nara dengan mata berkaca bercampur emosi yang meledak-ledak.
"Nara, kalau kamu tau kamu pasti kamu marah juga sama Ayah kamu ini," ketus Bu Iren, ibunda dari Nara.
"Maafin ayah Bu, maafin, maafin Ayah Nara." Pak Arman memohon.
"Dia udah abisin uang ibu buat foya-foya sama temennya Nara, gimana ibu gak kesel coba?" ucap Bu Iren yang emosinya sudah meluap-luap pada suaminya itu.
"Ayah? Apa benar yang dibilang sama ibu? Kenapa Ayah gak berubah? Kerjaan di luar sana masih banyak yang halal Ayah. Kenapa Ayah malah hamburin uang kerja keras ibu. Asal ayah tau, Nara capek-capek ngeluarin jurus ini jurus itu demi anak-anak, demi ibu, demi Kaffa, demi Ayah. Kenapa Ayah gak sayang kita?" Ucapan Nara yang berkaca membuat Pak Arman menangis seketika.
Ponsel Nara berdering keras menganggu rasa emosionalnya seketika. Nara masih menyurang kesal menatap Ayahnya dan berusaha mengabaikan ponselnya. Namun, suara dering ponselnya begitu keras serasa tak kunjung berhenti.
"Siapa sih ini? Kayak eksekutif aja gue, penting banget di teleponin terus."
Nara terpaksa mengangkatnya karena sudah jengkel mendengar dering ponselnya.
"Siapa?" Bu Iren penasaran.
"Dari orang yang nawarin pekerjaan bu."
"Hah? Ya udah ambil-ambil, siapa tau uangnya bisa kita tabung buat Kaffa masuk kuliah." Bu Iren antusias.
"Bu, Kaffa masih SMP, SMA juga belum masa udah kuliah aja," celetuk Kaffa.
"Suuutt, kamu anak kecil diem aja," bentak Bu Iren.
Nara pergi ke cafe, matanya memencar ke seluruh tempat mencari orang yang berbaju hitam yang baru saja menelponnya. Ia sedikit antusias karena itu menyangkut sebuah pekerjaan. Di jaman sekarang, mencari kerja tentu tidak mudah. Nara mungkin telah mendapat keberuntungan karena hari itu pekerjaan datang dengan sendirinya.
"Bapak yang tadi nelpon saya bukan?"
"Mba Nara?"
"Iya saya Nara."
"Oh, pantes aja nyonya rekomendasiin kamu. Dari aura kamu, jiwa pelindungnya kuat juga." Ucapannya membuat Nara kebingungan.
Mereka mulai berbincang empat mata di cafè.
"Apa? Kerjaan jadi asisten?"
"Iya, dan bayarannya itu lebih berkali-kali lipat dari kamu ngajarin Taekwondo."
"Kok bapak tau saya ngajar Taekwondo? Bapak penguntit ya? Saya gak mau pak!"
"Bukan, bukan seperti itu. Siapa tau kamu bisa merubah nasib keluarga kamu Nara. Ini kesempatan emas. Emmm kamu cuma jadi asisten anak ingusan kok, gak berat. Dia emang sedikit nakal, tapi gak sampe bisa bunuh orang."
"Kalau gue terima, uang sekolah Kaffa bisa ke bayar semua. Kalau gue tolak, gue nyari duit di mana lagi coba, yang ada Kaffa ditendang duluan dari sekolah," batin Nara mulai berpikir keras.
Beberapa menit, mereka akhirnya bersepakat untuk kerjasama, dengan maksud memperkerjakan Nara di salah satu keluarga kaya raya sebagai seorang asisten pribadinya. Nara memang belum melihat bagaimana anak ingusan yang disebut tadi. Tapi jika diiming-imingi gaji, Nara tak masalah jika ia tak akan terbunuh karena hal itu.
Voment🙏thx
Maapkeun cerita masih monoton, konflik belum muncul. Jadi, terima kasih yang sudah menghargai karyaku. Apresiasi kalian semangatku ....
Ikuti terus kisah Arion ya geng ...
KAMU SEDANG MEMBACA
MILLION DOLLAR MAN
Fiksi UmumKisah seorang cowok Crazy Rich populer yang tidak pernah paham arti dari sebuah perasaan dan kehidupan. Hidupnya berubah ketika dirinya melempar lembaran dolar pada seorang wanita. Dan berujung untuk bertemu setiap hari karena kejadian pengeroyokan...