20. Musuh

1.4K 67 3
                                    

Perawatan masih Arion jalani saat itu. Benar-benar, senapan itu telah menghilangkan energinya untuk beberapa hari. Hal itu terus ia sesali dan akan menjadi dendam sepenuhnya dalam hidup Arion. Pejaman mata masih terlihat oleh mata Nara yang terduduk di samping ranjang Arion. Kemudian, mata itu mulai terbuka dengan lemah.

"Mana Mama?"

"Tante, lagi ambilin baju buat lo."

"Gue kan gak apa-apa. Kenapa lo masih meringis aja?"

Arion merasa canggung ketika mata Nara mulai berkaca setelah ia membuka matanya. Bahkan, belum pernah ada orang yang menangis karenanya selain Mamanya sendiri. Hal itu justru membuat Arion tak nyaman dengan sikap Nara.

"Gue belum pernah ngeliat langsung peristiwa ini. Gue gak kuat liat darah." Nara meringis cemas.

Telapak tangan yang hangat menyentuh tangan Nara dengan perlahan. Wajahnya tertegun aneh sambil menatap dirinya dengan begitu fokus. Nara melebarkan matanya menatap tangan Arion mulai menjamahi tangannya. Sungguh, hal itu sudah berada di luar batas pikirannya.

"Makasih. Lo udah nyelamatin nyawa gue." Tak sadar, Arion yang tak pernah mengenal kata terima kasih, nyatanya ia lontarkan kata itu pada Nara detik itu juga.

Tangan lebarnya masih berada di atas tangan Nara yang tertutup sempurna. Nara segera meloloskan tangannya dari tangan lebar Arion. Arion memecah lamunanya ketika ia baru saja menatap dan menyentuh Nara. Detik itu juga, sikap Arion mulai Nara rasakan perubahannya. Seseorang datang menghentikan kecanggungan di antara mereka.

"Maaf pak Arion. Pak Edwin meminta saya untuk menanyakan suatu hal. Kira-kira, apa mungkin hal tersebut bisa saja dilakukan oleh teman pak Arion sendiri? Saya dengar dari Mas Aldo, kalau Pak Arion sering melakukan taruhan." Ajudan itu begitu segan untuk menanyakan hal itu pada Arion.

"Musuh kan yang lo maksud. Musuh gue banyak. Tapi siapa yang berani celakain gue kayak gini? Bertahun-tahun gue punya musuh taruhan di berbagai pelosok, belum pernah ada yang sampe celakain gue kayak gini." Arion menguatkan argumennya. Matanya memicing kosong ke depan.

"Siapa ya?" batin Arion berpikir dengan keras.

"Gue akan urus ini. Lo bisa pergi."

"Tapi Pak, apa perlu kami saja yang turun tangan untuk memeriksa seluruh  teman taruhan pak Arion?"

"Gak usah. Gue yakin bukan mereka orangnya."

"Ya sudah kalau begitu, saya akan terus melakukan pencarian sesuai perintah pak Edwin. Kalau begitu, saya permisi pak."

Telepon Nara berdering keras, terlihat nama orang terkasih tertera di monitor ponselnya. Padahal, dirinya sedang diambang kesedihan karena Arion. Tapi, wajahnya berubah menjadi sumringah ketika Obi sang pacar menelpon dirinya.

"Kak Obi?" gumamnya dengan sumringah.

Segera ia melangkah menjauh dari ranjang Arion. Terlihat senyuman memancar dari wajah Nara ketika ia tengah mendekatkan ponselnya ke telinga. Kedua mata Arion tak henti menatapnya. Bahkan sorotan cahaya matahari jendela ruangan memancar membuat Nara terlihat begitu tajam di mata Arion sendiri. Setiap senyum, tertawa, juga tingkah manja Nara membuat Arion terus menatapnya aneh. Selesai Nara menelpon, dengan senyum sumringah dirinya menghampiri Arion.

"Lo liat apa?"

"Siapa yang lo telpon?"

"Cowok gue lah."

"Oh." Mata Rion memencar ke sekitar.

Langkah Arion terlihat saat ia mulai menginjak kembali lantai rumahnya. Nara terus menggandengnya sampai ke ruang keluarga mansion Edzard.

MILLION DOLLAR MANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang