LDUM-2

3.9K 234 24
                                    

Inilah aku, gadis yang satu bulan lagi akan genap 21 tahun. Aku seorang mahasiswi yang berjurusan Sastra, apa kalian tahu mengapa aku mengambil jurusan itu? Alasanku pasti bisa di kategorikan tidak logis. Inilah alasanku; apa yang aku rasakan, ingin aku ungkapkan, aku akan mentorehkannya dalam sebuah kertas putih kosong. Kertas putih kosong itu aku ibaratkan sebagai diriku, aku sendiri, aku kesepian. Dan pena itu aku ibaratkan sebagai pengisi kekosonganku. Aku akan isi dengan kata-kata yang membuatku senang. Miris, bukan?

Seseorang menepuk pundakku, ternyata Nabila. Satu-satunya orang yang peduli dan mau berteman. Maaf, bukan hanya teman tapi sahabat. Dia yang bilang padaku. Ahh.. aku tak tahu apakah hanya ia satu-satunya? Kita lihat saja nanti.

"Kamu kenapa melamun, sih?" Aku menggelengkan kepala dan tersenyum. Berharap dengan senyumanku ini bisa membuatnya mengerti bahwa, 'aku tidak apa-apa'

Nabila membalas senyumku dan memelukku sebentar, kami bersahabat sejak berseragam putih-biru. Dia yang mengajarkanku tentang ilmu agama. Aku yakin Nabila dikirim oleh Sang Pencipta untuk diriku. Sudah ku bilang, pasti Dia akan selalu mendengar doaku dan memudahkanku dalam segala urusan.

"Yasudah, sekarang ambil wudhu dan mari kita sholat berjamaah," aku pun mengangguk lagi dan bersiap untuk melakukan syarat sah nya sholat.

Di setiap sholat dzuhur, aku sholat yang diimami oleh Nabila. Aku sholat dengan khusyuk dan setelah selesai, aku selalu berdoa, untuk orang-orang terkasihku. Walau mungkin sudah tak menganggapku sebagai bagian dari mereka, aku tetap sayang dan menganggap mereka keluarga.

"Aini, temani aku ke cafe samping kampus. Kau pasti sudah tahu," ya, aku tahu. Yang ku lakukan hanya mengangguk lagi dan lagi.

Kami sudah tiba, ku lihat Nabila mengedarkan netranya untuk menemukan sosok yang akan di temuinya. Seseorang melambaikan tangan pada Nabila, Nabila pun menarikku agar ikut dengannya.

"Assalamu'alaikum, kak," Nabila memberi salam pada sosok yang di temuinya.

"Wa'alaikumsalam, Nabila dan Aini," suara beratnya membuatku merinding. Lelaki ini yang aku kagumi sejak 8 tahun lalu, yang membuat seluruh tubuhku bergetar hebat kala mendengar ia melantunan kalam-Nya.

Aku tersenyum padanya, dan yang ku lakukan setelahnya hanya diam dan mendengarkan pembicaraan mereka. Sesekali aku merangkai kata demi kata pada kertas putih kosongku.

Sehati patah, dua hati menyatu

.
.

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang