LDUM-23

1.4K 121 12
                                    

Aku mematut diri sekali lagi untuk melihat penampilanku saat ini. Sungguh ini bukan fashion-ku sama sekali, aku dipaksa Ayu untuk memakai gamis yang luar biasa indah ini. Entah apa tujuannya.

Dilihat lagi, aku merasa cantik.

Pintu kamar mandi terbuka, keluarlah Ayu. Maa Syaa Allah, dia tampak cantik sekali. Ayu menatapku dari atas sampai bawah, kemudian mendekatiku.

"Ya Allah ... kamu cantik sekali, Ai. Humm, bakalan ada yang kesemsem, nih," aku mengernyitkan dahi. Ayu selalu saja mengatakan hal yang tidak aku mengerti.

Sudahlah ... ya ampun, apakah nanti Rafka bakalan aneh melihat penampilanku ini?

Eh? Aih ... apa sih, kok malah kepikiran pendapat Rafka nanti. Memangnya aku ini siapanya?

"Yuk, turun! Mamah udah nunggu."

Di ruang makan sudah ada Ibu Rosa dan seorang pria paruh baya yang sempat kulihat fotonya di dinding. Maa syaa Allah, sungguh dibanding yang di foto ternyata aslinya lebih sangar. Eh, tapi tidak menutup kemungkinan wajah sangar hatipun sangar.

Namun, aku tidak melihat hadirnya Rafka. Di mana dia?

Aku pun duduk sesuai yang ditarik kursinya oleh Ayu. Dan kursi depanku kosong sama seperti kursi depan Ayu.

Ibu Rosa menatapku lembut dan tersenyum yang kali ini sangat meneduhkan. Aku membalasnya dengan senyum termanisku.

"Halo, Aini." Itu ayah Rafka dan Ayu yang menyapaku, lamat-lamat aku memutar kepala ke samping kiri sampai kini aku bisa menatap lebih lama dari sebelumnya.

Aku tersenyum yang membuatku kesal, bibir ini terasa kaku untuk membentuk lengkungan ke atas. Sungguh aura wajah sangarnya membuatku tak berani menatapnya lebih lama.

Ku dengar mereka terkekeh geli. Hum, itu artinya bapak kepala keluarga ini tidak sesangar wajahnya. Akhirnya aku kembali menatap dan tersenyum tulus dari hatiku.

"Nama Bapak, Haryanto Wiguna. Kamu panggil aku Bapak juga, ya." di dengar dari nada bicaranya aku menangkap khas orang kota sate, Madura.

Dan aku seperti orang bodoh karena mengangkat kedua ibu jariku dengan kaku, kembali. Yang menelurkan tawa yang kini terdengar geli di indera pendengarku. Yang kulakukan hanya menyengir mungkin yang terlihat di netra mereka itu konyol.

Uh, Aini. Jangan gugup gini, dong. Kaya yang ketemu calon bapak mertua saja. Eh!

Dan kini wangi segar tercium dari radius yang sangat dekat, aku menoleh pelan ke samping kananku. Dan alangkah terkejutnya aku saat kepala Rafka perlahan mendekatiku, aku menahan napas saat netra meneduhkan itu kini menatapku tajam.

Ya Allah. Jantungku! Dia mau apaaa?

Bahkan sempat kudengar suara dari keterkejutan mereka.

Semakin dekat wajah Rafka ke wajahku, dengan refleks kumundurkan wajah. Hingga ... terasa jarum pentul dicabut dari sisi kepalaku.

"Jarum pentul ini panjang. Tidak mustahil jika menusuk kulit kepalamu," katanya dengan nada datar. Dan kembali mencabuti jarum pentul yang berada di kepalaku sampai kini hijabku sama seperti yang biasa kupakai, tidak direka-reka. Penampilanku hari ini semua Ayu yang atur.

"Abang ... ndeso banget, sih. Ya, gak bakal ketusuk, kan, sama Ayu udah dipasang dengan tepat. Ish, udah cantik banget juga," kutatap Ayu yang berbicara dengan wajah cemberut. Dan kulihat Ibu Rosa dan Pak Haryanto menggeleng kepala saja.

"Sederhana lebih cantik."

Dan tiga kata yang kudengar dari samping kananku membuat aku terpaku. Uh, kerja jantungku hari ini berbeda dari hari-hari lalu.

Rafkaaa, apa yang kamu katakan?

"Sudah-sudah jangan dilanjut lagi. Ayo, Rafka duduk."

"Baik, Pah." Dan kini Rafka duduk berhadapan dengan Ayu.

Ada rasa bahagia di hatiku saat berkumpul dengan keluarga yang harmonis ini, penuh canda dan penuh tawa. Keadaan seperti ini persis seperti saat aku masih tinggal dengan keluargaku. Ah, membayangkannya membuatku ingin menumpahkan air mata.

Tak terasa makan malam bersama telah usai menjadi kenangan yang akan selalu melekat di ingatan. Rafkan dan Pak Handoko telah pergi duluan dan kini menyisakan aku, Ayu dan Ibu Rosa.

Ketika tanganku hendak mengambil bekas piring kotorku tadi, Ibu Rosa menyela katanya biar ART saja yang membereskan. Huh, aku turuti sajalah. Aku ini siapa yang berhak menentang ucapannya?

"Ayuk Aini aku mau nunjukkin kamu ke suatu ruangan yang sangat aku suka," ucap Ayu penuh semangat. Ah aku jadi cepat-cepat ingin tahu.

Aku mengikuti langkah Ayu, sepanjang perjalanan aku tidak berhenti mengagumi pada setiap ruangan yang kulewati. Rumah ini besar sekali, ya?

Ayu membuka pintu, "sampaiiii."

Dan aku terperangah. Mulutku terbuka lebar melihat ruangan yang ditujukkan Ayu. Sebuah ruang yang berisikan boneka-boneka doraemon! Apakah Ayu fanatik sekali terhadap kucing ajaib itu?

"Bagaimanaaaa? Indah, kan?" tanya Ayu yang kini memegang boneka Doraemon berukuran besar.

"Kamu tahu gak, Ai. Setiap hari minggu Bang Rafka itu selalu ngasih aku boneka Doraemon. Uhm, kan aku jadi baper. Cobak kalau bukan kakak kandung aku, udah aku ajak paksa ke KUA, haha."

Pfft... Ya Allah, aku tertawa geli mendengar ucapan Ayu. Membuat perutku terasa diaduk-aduk. Dan... apa katanya tadi? Setiap hari Minggu Rafka memberi boneka ajaib itu pada Ayu? Uhm... adik saja dimanjakan sekali apalagi kalau istri mungkin triple manja. Haha.

"Ayu!" Serentak aku dan Ayu menoleh ke pintu, mendapati Rafka yang berdiri dengan membawa jinjingan plastik.

Kulihat Ayu menghampiri Rafka dan mengambil jinjingan plastik itu. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun... aku sempat mendengar kata "cincin".

Cincin? Maksud mereka apa?

.
.
.

Mohon maaf up nya lamaaaaaa bangetttttt, hihi.
Maaf part nya pendek.

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang