LDUM-13

1.5K 130 14
                                        

Alhamdulillah. Akhirnya selesai juga menata barang-barang dan pakaianku di sebelah kamar Mbak Nesya, aku merasa haus. Aku keluar kamar dan melihat Mbak Nesya sedang bertelepon.

"Mau lo apa sih?? Gue bilang lo gak usah nyatain perasaan palsu lo lagi!.... gue gak percaya!.... GUE BILANG GUE GAK PERCAYA!"

Mbak Nesya terlihat sangat marah, terlihat dari dadanya yang naik-turun dan nada bicaranya tinggi. Aku urungkan untuk menghampirinya, takut nerkam aku. Soalnya Mbak Nesya mirip singa betina yang meraung, hehe.

Setelah haus hilang, aku berjalan kembali menuju kamar. Sebelumnya aku berhenti di pinggir tangga yang menghubungkan lantai dua. Mbak Nesya pernah mengatakan padaku ketika aku mengemasi barang-barang di kontrakan. 'Lo jangan pernah naik ke lantai atas!' Seperti itu. Aku ingin bertanya, mengapa? Tapi melihat wajah datarnya aku urungkan. Mungkin itu sangat-sangat privacy.

"Ngapain lo?!" Astaghfirullah! Kaget aku. Mbak Nesya memakai jaket dan memegang kunci motor, "gue mau ketemu temen bentar. Lo diem di sini, ngerti?! Dan gie tegasin lagi, lo. Jangan. Pernah. Naik. Ke. Lantai. Atas!" Cepat-cepat aku mengangguk, aura Mbak Nesya tak bersahabat sama sekali, aku pun permisi melewatinya berniat ke kamar.

Aku rindu Nabila, ku coba mengirim pesan saja. Namun setelah beberapa menit tak ada notifikasi pesan telah diterima. Aku telpon Nabila..

Maaf nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.

Tumben sekali nomornya tidak aktif, sebenarnya apa yang terjadi padamu, Bil?

Ya Rabb.. dimanapun dia berada lindungilah dia selalu.

.
.

Astaghfirullah! Mengapa belakangan ini aku sering dikagetkan, sih? Bisa-bisa aku jantungan. Dan apa lagi ini, ternyata Naufal yang memegang pundakku. Sebisa mungkin aku mengubah air mukaku menjadi ramah.

Lihat! Belum beberapa menit saja sudah banyak puluhan pasang mata yang memperhatikanku. Bukan karena aku cantik, bukan. Tapi karena Naufal, lelaki tampan yang berada dihadapanku. Merasa sedari tadi Naufal hanya memperhatikanku, aku cepat-cepat berbalik berniat ingin ke perpus. Tapi sebelum berbalik,

"Gue minta nomor ponsel," aku sedikit membuka mulut, apa tadi. Minta nomor ponselku? Yang benar saja lelaki tampan dan dikagumi banyak wanita ini meminta nomor ponselku?

"Gue gak minta lo bengong, yang gue minta nomor ponsel. Lo selain bisu, tuli ya?" Ku dengar sekelilingku tertawa secara terang-terangan. Apa tujuan Naufal sebenarnya? Aku yakin dia hanya ingin mempermalukanku. Tapi...

"Siapa yang berani ngetawain Aini, gue depak dari kampus ini!" Akhh.. aku benar-benar merasa aneh dengan tingkah Naufal, ini membuatku sakit kepala. Tadi dia mempermalukanku dan sekarang seakan-akan membelaku. Jika aku bisa berbicara, sudah dipastikan aku akan berteriak di depan wajahnya. APA MAUMU?

Secepat mungkin aku berbalik dan berlari mengabaikan teriakan Naufal yang memanggilku.

Seperti biasa aku memasuki perpus hanya ada Bu Imas-penjaga perpu-karena memang ini jam-jamnya kelas berakhir dan digantikan dengan kelas lain. Aku tersenyum pada beliau dan beliau membalas senyumanku.

Dan seperti biasanya lagi aku memilih duduk tepat di bawah Ac. Nikmat sekali. Besok adalah ujian semester, aku tak perlu risau lagi karena uang semester sudah lunas dan Alhamdulillah nya, aku ini termasuk orang yang rajin belajar, hehe. Jadi tidak takut untuk menghadapinya.

Aku merasa sendirian dan kesepian. Tak ada Nabila yang mengajakku ke kantin dan yang selalu menemaniku. Nomornya pun masih tak aktif, puluhan pertanyaan tentangnya memenuhi pikiranku. Membuatku sulit untuk menjalankan aktifitas, perasaanku tak enak. Oh, Allah...

Aku butuh tidur sebentar saja untuk menenangkan diri. Perlahan aku mulai terbuai dengan kantuk dan ruangan yang sangat nyaman, damai.

Aku semakin nyaman tidur bersandar pada rak buku saat merasakan atas kepalaku diusap lembut, apakah aku sudah memasuki mimpi?

"Aini.. bangun. Kamu tak masuk kelas?" Suara lembut dan tepukan pelan di pipi membangunkanku. Ku lihat Bu Imas yang tersenyum padaku, "nyenyak sekali kamu tidurnya. Kamu melewati kelas lho." Aihh.. Ainiii.. ku lihat jam sudah berganti pukul 11, aku menepuk jidatku. Kelas sekarang adalah Dosen Endi. Secepat mungkin aku mengusap sekitaran mulutku, takut ada iler. Hihi. Bu Imas tertawa kecil dan aku memeluknya sebentar lalu berlari secepat mungkin.

"AINI!" Bu Imas memanggilku. Aduhh, padahal aku sudah telay sekali. Aku sampai dihadapannya, "ibu mendapat kabar bahwa kampus dibubarkan." Maa Syaa Allah.. bagaimana nanti kalau aku tak diberi tahu oleh Bu Imas. Kalau saja ada Nabila.. ah, sudahlah.

Bu Imas menyipitkan matanya padaku, "kamu punya kekasih?" Heh? Kekasih? Haha. Aku menggeleng cepat. "Terus lelaki yang mengusap kepalamu, siapa?" Lelaki yang mengusap kepalaku. Hah! Jadi aku tidak bermimpi. Tapi lelaki, siapa? Aku tak punya teman lelaki kecuali Bang Agis. Tak mungkin Bang Agis, 'kan?

"Ibu kaget lho. Pas dia menghampirimu, dikira Ibu dia temanmu. Ibu juga tak mengenali karena dia memakai topi."

Satu pertanyaan. SIAPA?

.
.

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang