LDUM-29

1.5K 145 37
                                    

Aku pernah bilang berat buat ngetik ldum tuh. Gak tau knp? Apa karena pake pov orang pertama ya?

Tapi, walau begitu semoga aja hasilnya gak mengecewakan ya.

Mangkanya eh yg diem2 bae nongol sama kasih vote. Supaya aku semangat😂

Hari pertama puasa ya.. kalian pada puasa gak nih? Huhu kalau aku nggak, hari pertama puasa awal datangnya haid😄

***




"Rafka, Nak Mam-

"Abang bisa bilang sendiri, Mah." Setelah mengatakan itu, sosok Rafka perlahan menjauh, meninggalkan Ibu Rosa yang menghela napas panjang.

Ibu Rosa mendekatiku. "Maafkan Ibu, ya. Pasti kamu kaget, seharusnya Ibu gak bilang ke kamu untuk hal ini. Tapi, kamu pasti ngerti. Ibu hanya ingin segera melihat senyum lebar putra Ibu lagi."

Yah aku mengerti... tapi ini terlalu tiba-tiba untukku. Apakah ini semacam lamaran? Jika iya, aku tidak tahu harus memberi jawaban apa. Aku baru mengenal Rafka, pun Rafka baru mengenalku. Tapi... jika diingat awal jumpaku dengan Rafka, pria dewasa itu seperti telah mengenaliku, bahkan dia tahu aku mualaf dan masa laluku.

Apakah itu berarti Rafka diam-diam mencari informasi tentangku?

"Hah ... lupakan saja yang tadi Ibu bilang. Kita langsung bikin cake nya yuk!"

Aku menuruti intrupsi yang diarahkan oleh Ibu Rosa. Yah walaupun aku merasakan kecanggungan, tapi Ibu Rosa terlihat sekali untuk melupakan ucapannya tadi.

"Kamu tau, Nak, waktu Ibu masih gadis, Ibu sering banget bereksperimen pada si tepung-tepung ini. Sampai-sampai mamah Ibu angkat tangan kalau Ibu udah beraksi di dapur, berulang kali Ibu gagal, tapi Ibu gak patah semangat. Yah ... seperti pepatah 'usaha tidak akan menghianati hasil', akhirnya Ibu berhasil bikin cake yang bisa membuat mamah Ibu bangga. Dan sampai sekarang Ibu sering bikin cake, apalagi cake coklat susu kesukaan Rafka. Dia sukaaaa banget, apalagi kalau ditemani dengan kopi hitam pahit."

"Beda dengan Ayu, kalau Ayu tidak terlalu suka yang manis-manis. Selera bapak nurun ke Ayu, anak itu malah suka sekali makanan yang pedas-pedas."

Ayu memang si pecinta pedas. Di kantin kampus pun dia selalu beli makanan yang pedas, aku sempat menegurnya. Tapi begitulah Ayu. Si keras kepala.

Setelah banyak perbincangan. Tepat sekali adzan maghrib berkumandang, dan muncul juga bapak Haryanto yang menenteng tas kerjanya.

"Kok gak kedengeran salam dari Ayah?"

"Mamah yang keasyikan ngobrol sama Aini. Gimana Nak kabar kamu, sehat?" Aku mengangguk seraya tersenyum.

"Yasudah, ayuk siap-siap buat Salat Maghrib."

Sepeninggal bapak Haryanto, Ibu Rosa menyentuh pipiku. Wajahnya penuh ketulusan dan secercah harapan.

"Nak, Ibu berubah pikiran. Ibu mau kamu pikirkan ya perkataan Ibu."

***



Aku kembali merasakan kehangatan sebuah keluarga, yah walaupun mereka bukan keluargaku, tapi aura kasih sayang mereka mengena sampai ke hatiku. Kebahagiaan mereka membuatku bersedih, karena lagi-lagi aku merindukan keluargaku. Bang Frans yang kadang menyebalkan tapi sangat sayang padaku, bang doris yang jutek tapi perilakunya sangat manis padaku. Ayah dan bunda yang selalu terdepan untukku. Tapi--itu dulu. Keadaan berbanding terbalik setelah aku memutuskan untuk berpindah keyakinan pada agama Rahmatan Lil Alamin ini.

Aku sama sekali tidak menyesal. Aku ikhlas, karena aku berpegang teguh pada keyakinanku.

"Oh ya, Nak Aini terimakasih ya sudah datang ke acara kecil-kecilan ini. Bapak senang sekali kamu ada diantara kami."

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang