LDUM-11

1.6K 148 12
                                        

Nabila mengulas senyuman yang sangat manis padaku, setelah menceritakan semuanya aku merasa lega dan tegang bersamaan menunggu reaksi darinya. Ternyata ekspetasiku salah, melarang dengan manja. Realitanya, tersenyum sangat manis.

"Aku bahagia Ai, ternyata Mbak Nesya udah gak jahat lagi ke kamu. Itu suatu awal yang baik, bukan?"

Ponsel; semoga saja. Tapi aku masih ragu, aku akan mencoba mempertimbangkan kembali

"Itu hak mu. Aku akan mendukung apapun keputusanmu, Ai," aku lega tahu tanggapan Nabila. Bersyukur dia mengertikan kejadian ini.

"Sudah malam. Aku pulang, Ai. Assalamu'alaikum," ku satukan telapak tanganku di depan dada sebagai jawaban salam. Ku antar Nabila sampai depan rumah sampai ia tak terlihat lagi.

Baiklah, memikirkan ini membuatku pusing. Aku butuh tidur sekarang. Selamat malam malaikat tak bersayapku dan selamat beristirahat duhai tubuhku.

Selamat malam dunia.

.
.

Rupanya alam ini kedatangan berkah, beruntung aku sudah berada di kampus. Kemana Nabila? Semenjak ku ceritakan dia seperti menghilang, ku telepon tak diangkat. Apa dia marah padaku?

Astaghfirullah. Tubuhku reflek berdiri kala tepukan pelan di pundakku, Naufal? Lelaki famous ini menghampiriku? Perasaanku tak enak saat dia tersenyum manis. Apa dia sakit sehingga tersenyum sampai manis seperti itu, yang mengakibatkan para wanita menjerit tertahan.

"Lo cantik. Tapi sayang lo bisu. Tapi yang lebih sayangnya lagi lo menarik sehingga membuat gue tertarik," apa? Dia pergi begitu saja. Dan kenapa wanita di sekitarku menatapku sinis? Hey, aku tak tahu Naufal berkata apa karena aku memakai heandsheat mendengarkan lagu yang sedang diputar di radio.

Ah, sudahlah. Memang biasanya seperti itu, mereka terang-terangan menatapku sinis seperti itu. Lebih baik sekarang aku ke kelas karena sebentar lagi kelas akan dimulai.

Sesampainya di kelas, aku lihat Nabila duduk menopangkan dagu. Sepertinya dia melamun, tak biasanya dia begitu. Sebelumnya Nabila sudah melihatku dan tersenyum.

"Ai, aku ingin bercerita padamu nanti," aku mengangguk dan Nabila memelukku sebentar.

"Nabila. Lo dipanggil Pak Seno," Aji. Teman seperjurusan kami. "Oh, oke. Thank, Ji." Aji tersenyum pada Nabila dan melirikku saja.

"Bukannya sekarang kelasnya Pak Seno ya, Ai?" Iya memang benar hari ini kelas Pak Seno. Aku mengangguk. "Yaudah, aku ke sana, ya."

Sepeninggal Nabila, Dara dan Serly menghampiriku. Mereka memang hari ini sekelas denganku, aku hanya merasa aneh saja karena sekarang sudah duduk di sampingku. Keberadaan mereka di sekitarku membuat yang lain memusatkan perhatian ke arahku.

"Lo Aini, 'kan? Cewe yang gak bisa ngomong. Lo masuk kampus ini aja udah bikin kita muak, beruntung lo gak kita ganggu karena lo emang gak buat masalah. Tapi sekarang lo berani-beraninya deketin pacar gue, Naufal! Nyali lo gede juga, liat aja nanti hidup lo gue bikin sengsara!"

Ya Allah.. apa lagi ini?

Bahuku sedikit sakit setelah dicengkram oleh Serly yang mengaku kekasih Naufal sebelum dia kembali ke tempat. Demi Allah! Aku tak pernah dekat dengan Naufal, ingin sekali aku membela diriku. Aku ingin menyuarakan aku tak seperti yang mereka pikirkan. Lihatlah, tatapan mereka penuh dengan kebencian. Mengapa mereka percaya begitu saja? Apakah seorang bisu tampak penuh dusta dan durjana? Mereka melihatku seperti sampah yang ada di kampus ini. Mereka seakan-akan yang paling sempurna. Demi Allah, tidak ada yang sempurna di dunia ini selain Rajanya Hari Pembalasan.

Astaghfirullah..

"Aini. Apa yang terjadi setelah aku pergi?" Nabila datang padaku dengan tatapan khawatir. Aku mencoba tersenyum namun tak bisa, luruh sudah air mataku. Selama ini aku selalu menahannya, mungkin hatiku lelah.

"Nabila hari ini Pak Seno tak masuk, ada waktu kosong tiga jam. Kita pergi, yuk!" Aku mengangguk.

"Saya tak tahu apa yang kalian perbuat pada Aini sehingga membuat dia menangis. Apa kalian tidak tahu di sini siapa yang paling jahat melebihi pembunuh? Kalian! Kalian yang memberikan tatapan kebencian pada Aini. Kalian yang menganggap dia bagai sampah! Apa kalian pikir kalian yang paling sempurna, saya rasa tidak! Kalian semua tidak memiliki hati. Bagi saya Aini yang paling baik di antara kalian. Kalian sempurna secara lahir batin tapi sayang kalian cacat dalam hal berperikemanusiaan. Percuma kalian sekolah tinggi tapi tak bisa bersikap toleransi!" Seketika hening.

Nabila, kau sahabatku, kau Bidadari yang dikirim Tuhan untukku.

.
.

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang