LDUM-36

2.8K 175 72
                                        

Maaf saya molor lama sekali🙏

Semoga penulisanya tidak ngaco atau tidak nyambung.

Happy reading😉

👇👇👇

Saat mataku terbuka, aku sudah berada di sofa. Yang kuyakini pasti bang Doris yang sudah menggendongku. Teebukti dengan sosoknya yang menatapku datar. Sedangkan mbak Nesya masih menghapus sisa-sisa air matanya.

Mbak Nesya menyadari kesadaranku, mbak Nesya tiba-tiba saja memelukku dan menangis kembali. Aku menghindari tatapan menusuk bang Doris dan hanya bisa menepuk-nepuk bahu mbak Nesya. Aku tau pasti mbak Nesya sangat terlecehkan. Aku saja yang melihatnya sangat shock sampai pingsan.

Aku ingin memarahi bang Doris tapi tidak bisa.

"Gue benci dia Ai, gue benci. Usir dia dari sini, Ai, hiks."

Sungguh aku tidak tau harus berbuat apa saat bang Doris menarik mbak Nesya sampai terduduk kembali.

"Dia siapa?"

Seketika mbak Nesya menghentikan tangisannya, dan lagi-lagi aku sedih karena bang Doris masih tidak mau mengakuiku.

Aku tau bang Doris mengenaliku, sangat. Karena aku sangat disayang olehnya.

Kulihat mbak Nesya berdesis marah. Mbak Nesya kembali menjadi mbak Nesya yang garang.

"Lo udah gak waras, sumpah! Lo amnesia? Dia adik lo, bego!"

"Adik perempuanku sudah gak ada."

"Sinting emang lo! Kakak biadap lo! Dia adik kandung lo! Lo bikin gue tambah benci sama lo, Ris."

Aku hanya bisa menunduk. Air mataku sudah mengalir. Sangat sakit rasanya ketika orang yang sangat kamu sayangi tidak menganggapmu ada.

"Memang aku sudah tidak punya adik perempuan setelah dia memutuskan hal gila dan pergi."

Aku tidak akan pergi kalau kalian tidak mengusirku. Kenapa kalian sangat membenciku? Apa salah dengan keputusanku? Itu hakku.

"Gue gak nyangka Ris, lo bisa berpikir sedangkal itu. Otak encer lo mana? Gak lo gunain untuk masalah ini? Gue tau lo sangat kecewa atas keputusan Aini tapi di--

"Marie. Nama adik aku Marie Hutapea. Aku tegasin lagi sama kamu, dia bukan adikku. Adikku sudah lama pergi. Aku pergi."

Mbak Nesya mengusap wajahnya kasar, sedangkan aku berlari dan tidak tahu harus melakukan apa selain memeluk erat bang Doris. Kuharap bang Doris paham aku begitu menyayanginya walaupun sikap yang tadi bang Doris perlihatkan tidak sedikitpun membuatku benci.

Aku mendongak, menatap pahatan wajah tampan bang Doris dari bawah. Allah.. betapa rindunya aku dengan bang Doris. Dengan tangan gemetar aku menangkup pipi bang Doris agar menunduk, dan ya.. bang Doris menunduk dengan wajah yang datar. Aku hiraukan.. kugerakkan bibirku mengatakan 'Marie sayang abang'.

Aku menunggu. Menunggu reaksi bang Doris. Aku hampir menyerah dan melepas dekapanku sebelum tubuhku ditarik dan disitu aku menangis kembali. Kali ini aku menangis karena aku senang bang Doris menarikku dalam pelukannya. Pelukan yang aku rindukan.

"Abang juga sayang kamu, Dek.

"Abang gak bisa benci kamu."

"Kembali seperti dulu ya, Dek?"

"Kembali seagama seperti Abang, bunda, dan bang Frans, ya, Dek?

***





"Aini wajah kamu pucat banget. Kamu belum makan, ya?"

'Sudah' kuharap Ayu menangkap arti dari gerak bibirku.

Ayu menyentuh dahiku. Mungkin dia mengecek apakah suhu tubuhku panas atau tidak.

"Normal. Tapi wajah kamu pucat banget. Kita ke klinik kampus, yuk? Tugas bisa nanti, yang penting kesehatan kamu."

Mau tidak mau aku mengangguk. Karena memang kepalaku sedikit pusing. Aku tahu penyebabnya, ini karena semalam aku tidak tidur. Aku sibuk memikirkan perkataan bang Doris. Aku kira bang Doris paham akan keputusanku, tapi ternyata bang Doris sama saja seperti bang Frans.

***

Aku berjalan bersama Ayu menuju gerbang kampus. Ayu memberitahukan padaku bahwa abangnya sudah pulih dan bisa beraktivitas kembali. Syukurlah jika Rafka sudah sehat.

Dari jauh aku melihat mobil. Aku merasa mengenalinya... itu mobil... bang Doris.

Degupan jantungku meningkat. Oh Allah... aku takut, takit hatiku terluka kembali dan aku takut nantinya bang Doris akan membuat keributan di sini.

"Kamu kenapa? Pusing lagi? Sakit Ai." suara cicitan Ayu mengembalikan fokusku. Aku melihat kedua tanganku yang tanpa sadar mencengkram kuat lengan Ayu. Aku segera melepas dan berulang kali menggerakan bibir berkata 'maaf'.

"Iya, iya, Ai. Tapi kamu kenapa? Kok kuat banget nyengkram lengan aku? Pusing lagi, ya?"

Aku menggeleng. Lirikan mataku tidak fokus, dan tanpa sadar aku berdiri dengan gelisah sampai Ayu mengguncang bahuku.

Sehebat itu efek kehadiran bang Doris.

Mataku terbelalak karena di sana, di mobil itu bang Doris berdiri menyender sambil bersedekap dada.

Aku tidak bisa berlari. Kakiku seakan terpaku.

Dan tanpa aku sadari bang Doris sudah berdiri 2 langkah di depanku. Aku menelan saliva dengan sudah payah.

Ayu berbisik menanyakan siapa lelaki yang memandangiku dengan tajam. Untuk menggerakan kepala saja aku susah.

Bunda... ayah... takut...

Perlakuan kasar yang selama ini bang Doris tunjukkan menjadikanku trauma dan takut bila didekatnya. Dalam diri bang Doris sudah tidak ada rasa kasih sayang untukku lagi.

"Eum, Kakak ada urusan dengan Aini?"

Aku menguatkan cengkramanku pada lengan Ayu.

"Ya."

Ayu seakan mengerti ketakutanku. Dengan lembut Ayu menyembunyikan diriku dibalik punggungnya.

"Tapi maaf, Kakak teman Aini atau siapa, ya? Soalnya Aini menunjukkan reaksi ketakutan melihat Kakak."

Aku tidak tau ekspresi yang ditampilkan bang Doris. Tapi aku bisa mendengar kekehannya.

"Gue abangnya."

"Hah? A-abang?!" Ayu berbalik dan berbisik. Aku tau Ayu pasti panik. Karena memang Ayu sudah mengetahui kehidupanku. Sudah pasti tau dari Rafka.

"Ai, itu pasti abang kamu yang kasar, kan? Keliatan dari mukanya, sangar banget! Gimana ini? Aku temenin kamu, ya?"

Aku menggeleng pada Ayu. Ayu mengerti. Maaf Ayu aku menyusahkanmu.

"Tapi maaf kak, Aini gak mau bicara dengan Kakak. Kalau begitu permisi."

"Jangan sampe gue bikin keributan di sini. Marie! Ayo ikut gue!"

Tanganku sudah ditarik dengan kuat oleh bang Doris. Ini sakit. Aku meronta dan menahan air mata yang akan keluar.

"Eh, Kak! Jangan kasar ya!"

"Diem lo!"

"Saya gak bisa diam kalau Kakak bertindak kasar seperti itu!"

"Gue abangnya! Gue yang lebih berhak sama dia! Jadi bebas gue mau bertindak seperti apa!"

Aku sungguh malu diliat mahasiswa yang masih di tempat. Aku tidak yakin mereka akan menolongku. Aku memberikan tatapan yakin pada Ayu. Sudahlah, aku pasrah.

"Huh, liat! Adek gue aja gak masalah."

Setelah bang Doris mengucap itu, aku kembali ditarik dan hampir tersandung mengikuti langkahnya yang lebar dan cepat.

Suara pintu mobil tertutup menandakan aku pasrah akan dibawa kemana saja oleh bang Doris.

***

Terimakasih yang sudah mau menunggu 😉😊

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang