LDUM-4

2.8K 188 42
                                    

Cara menenangkan pikiran tentulah banyak sekali, salah satunya seperti aku ini, duduk santai di perpustakaan yang suasananya, Ma Syaa Allah. Menenangkan, sunyi. Ditambah aku duduk tepat di bawah pendingin ruangan, AC.

Dari awal Nabila datang ke rumah, aku tahu bahwa dia sedang dalam mode bahagia. Dan yeah, aku tahu apa yang telah membuat ia sebahagia itu. Pastinya karena Azka, laki-laki yang kemarin kami temui di cafe dan lelaki yang,... mmm, ku kagumi.

Miris sekali diriku berharap Azka menyukaiku, sudah jelas wanita yang ia sukai Nabila namun aku masih saja menyukainya. Orang bilang cinta pada pandangan pertama memang susah untuk move on dan aku membenarkan hal itu.

Delapan tahun

Delapan tahun

Aku terus saja mengulangi kalimat itu, delapan tahun lamanya aku mencintai Azka dalam diam. Apakah aku bisa secepat, mungkin satu hari, dua hari, atau satu bulan untuk menghilangkan perasaan ini? Atau delapan tahun aku bisa melupakannya, sama seperti aku memendamnya?

Tapi kembali lagi pada niat awal, niatku sudah bulat untuk menghilangkan perasaan ini. Aku juga menyadari diriku tidak seperti wanita lain, bisa di bilang aku mempunyai kekurangan. Mungkin kalian bisa menebaknya?

Jadi ya, aku berharap Sang Kuasa dapat membantuku dan menghadirkan sosok yang telah di tetapkan untukku, semoga saja.

Ku rasa sudah cukup bersantainya, lagipula masih banyak kegiatan yang harus aku lakukan. Hari ini pun kelas hanya masuk dua kali, aku beruntung sekali. Aku bisa datang bekerja lebih awal dan tentunya gaji pun akan bertambah, ya walaupun sedikit. Tapi aku sudah bersyukur.

Aku harus mengirim pesan pada Nabila sebelum aku menuju ke tempat kerja. Setidaknya aku harus berlaku sopan, karena dia yang telah banyak membantuku dan mau bersahabat tanpa memandang kekuranganku.

Setibanya di tempat kerja, aku langsung di sambut oleh senyuman lebar Bang Agis, teman kerjaku. Aku pernah mengatakan, aku tak tahu apakah hanya Nabila saja yang tulus berteman denganku. Aku merasa Bang Agis ini tulus denganku, dia yang selalu membantu bila aku di bully oleh Mbak Nesya dan Mbak Saras. Aku tak tahu mengapa mereka membenciku, dari awal aku masuk mereka menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Aku berhusnudzon saja, mungkin dia tak suka karena kekuranganku.

Aku menyatukan telapak tanganku di depan dada sebagai tanda salam, Bang Agis tersenyum lagi padaku. Ahh Bang Agis ini bisa di bilang tampan tidak jelek juga tidak. Tapi kalau dia sudah tersenyum, pipiku terasa panas karena senyum Bang Agis memang manis, hihi.

"Kalo kamu datang lebih awal berarti kelas sudah selesai ya?" Aku mengangguk dan tersenyum. Bang Agis mengambil tas yang di jinjing olehku lalu di bawanya menunu tempat penyimpanan barang untuk karyawan dan dia datang membawa opron untukku, selain senyumnya yang manis, perlakuannya juga manis. Kalau saja Bang Agis belum bertunangan sudah pasti aku gaet, hehe.

Aku mencubit pelan lengannya yang tertutupi baju setelah ia berhasil mengalungkan tali opronya pada leherku. Sejauh ini aku tidak akan membiarkan lelaki manapun memasangkan opron ke leherku, tapi ya dasar Bang Agis. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Aku pun menuju ruangan dapur saat Mbak Nesya memanggilku.

"Antarkan ini ke meja nomor tujuh!" Sentak Mbak Nesya, aku hanya bisa bersabar dan mengelus dada memaklumi logat bicaranya Mbak Nesya seperti itu, yang tentunya saja hanya padaku.

Aku mengambil baki yang berisi makanan dan minuman itu, aku pun jadi lapar karena memang sedari pagi aku tak makan apapun hanya meminum air putih saja. Ku lihat meja nomor tujuh itu di isi 4 lelaki, itu artinya aku akan bolak-balik mengantarkan makanan. Biasanya Mbak Saras yang juga mengantarkan makanan tapi aku tak melihatnya. Akan ku tanyakan nanti pada Bang Agis.

Aku mengetukkan meja sebagai tanda makanan sudah datang dan mereka menyadarinya. Mereka sama-sama mengerutkan kening karena sudah pasti keheranan, biasanya pegawai lain akan mengucapkan dengan suara tapi aku ini berbeda, aku akan mengetukkan jari di meja, kalian pasti sudah tahu.

Langsung saja aku meletakkan dan setelah selesai aku membungkukkan tubuhku sekilas dan kembali untuk mengambil baki, ku lihat lelaki-lelaki itu memperhatikanku saat berjala  menuju tempat mereka. Jujur saja aku merasa gugup dilihat seperti itu. Hingga aku sampai dan meletakkan sajian mereka masih menatapku. Ahh, tinggal dua baki lagi yang harus ku antar. Pengantaran baki ke-3 pun sama mereka masih menatapku, sampai baki ke-4 juga sama dan saat hendak berbalik, dari salah satu lelaki memanggilku.

"Mbak," aku menghadap lagi dan netra ku mencari siapa yang memanggilku tadi, lelaki memakai topi biru tua mengangkat tangannya, mungkin dia yang memanggilku. Ku tersenyum sesopan mungkin berharap ia mengerti aku menanyakan 'ada apa'.

"Mbak lagi puasa ngomong ya?"

"Lagi sariawan kali, bro."

"Suaranya mahal kali, men. Haha," aku sudah biasa mendapat perlakuan seperti itu. Mau melawan pun susah, tak mungkinkan aku menggeplak kepala mereka menggunakan baki yang ku pegang.

Buk buk buk buk

Heh, aku terbengong melihat sosok pria memakai jas yang tiba-tiba datang langsung menggeplak kepala empat pria itu menggunakan map nya. Aku merasa keinginanku terkabulkan, walau bukan dengan tanganku sendiri yang melakukannya. Bisa-bisa aku di depak oleh Pak Bani, pemilik cafe ini.

Aku menahan tawa saat melihat keempat pria itu mengusap kepalanya, salah satu diantaranya melihatku menahan tawa. "Gara-gara mbak ini," aku hanya memalingkan wajahku tak kuasa melihat wajah dongkolnya.

Satunya lagi meninju bahu pria tadi, "gila ya lo, udah telat eh datang-datang main geplak kepala gue sama ni kacung!" Si pria jas menaikkan sebelah alisnya. "Lo juga kacung, di sini gue bos nya." Aku cekikikan melihat ekspresinya. Pria jas itu menghadapku tapi netra nya tak memandangku, "maafkan atas perilaku teman-teman saya." Dan setelah itu sudah dia keluar cafe, belum juga aku menganggukkan kepala dia sudah nyelonong pergi.

"Eh BOS MAU KEMANA?" Pria bertopi biru tua yang berteriak memanggil si pria jas. Setelah urusanku selesai, aku pun kembali lagi untuk melanjutkan pekerjaanku. Sayup-sayup ku dengar mereka menyumpahi si pria jas itu. Ku berpapasan dengan Bang Agis dia tersenyum lembut padaku seolah menguatkanku, aku pun membalasnya dengan senyuman juga.

Sampai di dapur, bahuku di dorong oleh Mbak Nesya. "Lo jadi cewe caper banget sih, tugas lo tuh nganterin makanan bukan ngegoda pelanggan! Gak nyar diri banget lo! Dasar B.I.S.U," setelah mengataiku Mbak Nesya melanjutkan membuat makanan yang di pesan pelanggan. Apa  yang bisa ku lakukan? Menangis ketika malam datang, yah itu yang ku lakukan.

Seperti biasa..

Luka datang, tawa pun hilang

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang