LDUM-9

1.7K 140 13
                                        

Aku mengernyit bingung kala melihat Bang Agis, Mbak Saras dan Mbak Nesya sedang duduk berkumpul di salah satu meja. Dan kemana pelanggan? Biasanya selalu ramai. Ah, aku telat datang karena di kampus tadi mengadakan kumpulan mengenai masalah event itu. Dan ternyata benar jurinya adalah salah satu tokoh Sastra Indonesia dan acaranya akan dilaksanakan akhir bulan ini.

Bang Agis yang menyadari kedatanganku melambaikan tangan padaku, aku menghampiri dan duduk di sebelahnya. Di sampingku ada Mbak Saras yang melirikku sinis, aku hanya bisa menghela napas.

"Kamu pasti bingung ya. Jadi gini, sekitar satu jam yang lalu Pak Beni datang ke cafe. Beliau menyampaikan bahwa cafe ini akan di jual, tapi tenang saja cafe ini akan tetap berjalan walau bukan dalam pegangan Pak Beni. Pak Beni tak memberitahu apa alasan cafe ini dijual, Ai.

...kata beliau cafe ini sudah di jual kemarin dan besok pemilik cafe yang baru akan ke sini untuk memperkenalkan diri."

Aku cukup terkejut mendengar Pak Beni menjual cafe ini, apa alasannya? Setahuku selama ini tak ada masalah. Aku melihat Bang Agis mengeluarkan lipatan amplop coklat dari saku lalu ia sodorkan padaku. "Walaupun ini bukan waktunya gajian tapi Pak Beni kasih ini untuk kita. Kata beliau sebagai bentuk apreasi saja karena kita kerja nya selalu semangat dan banyak pelanggan yang mampir."

Alhamdulillah, ku ambil amplop itu dengan tatapan binar. Ini artinya aku bisa melunasi uang ujian semester dan aku bisa mengikutinya. Allah Maha Besar. Dia selalu menolong HambaNya, Dia lah Sang Pemberi.

"Kenapa lo mesti di kasih, lo 'kan selalu telat datengnya. Enak banget lo," seketika diriku diam tak berkutik saat Mbak Saras mengatakan itu. Aku akui memang aku ini yang paling tidak disiplin dalam bekerja, tapi aku sudah berkonsultasi dengan Pak Beni dan beliau tak mempermasalahkannya.

Ku lihat Bang Agis menghela nafas sampai helaannya terdengar dan mengalihkan perhatian Mbak Nesya dan Mbak Saras. "Lo kuliah supaya tau gimana susahnya ngatur waktu. Lo jangan main hakimin dia dong, yang namanya kuliah itu gak nentu kapan selesainya. Pak Beni aja gak masalah kenapa situ yang bermasalah?"

Bang Agis ini baik sekali selalu membelaku jika aku mulai di serbu oleh Mbak Saras dan Mbak Nesya. Sebenarnya aku tak masalah jika dikatai seperti itu karena memang aku salah. Tapi terimakasih Bang, karena selalu membelaku.

Mbak Nesya berdecih menanggapi ucapan Bang Agis, "gue tanya emang situ juga kuliah, hah? Lulusan SMA kek gue aja situ sok ceramah. Mirror, please." Aduh, mendadak suasananya panas, padahal ruangan ini ber-AC. Cepat-cepat aku memegang lengan Bang Agis dan aku memberikan senyuman sungkan padanya, awalnya Bang Agis ingin berbicara namun ku lihat ia membuang nafas dan tersenyum padaku. Ah, syukurlah.

Diantara kami belum ada yang menikah namun di sini aku yang paling muda. Dan yang tertua Mbak Nesya yang berumur 28, Mbak Saras dan Bang Agis seumuran yaitu tahun 1993-an.

"Pak Beni ngasih kunci cadangan ke gue, jadi mending sekarang kita pulang ke rumah masing-masing."

"Pekerjaan dapur belum selesai, itu ada cucian." Mbak Nesya memandangku, "eh bisu! Itu tugas lo! Sana bersihin dapur!" Seperti biasa Mbak Nesya bila berbicara padaku dengan sentakan. Padahal Mbak Nesya bukan orang Batak. Sabar..

Terlihat Bang Agis tak terima, "itu bisa dilanjutin besok Mbak. Lagian tadi gue liat sedikit." Mbak Nesya menyenderkan punggungnya seraya melipat kedua tangan, "gimana kalo bos baru kita datang lebih awal? Malu lah, nanti dikira kita kerja gak bener. Udah mending cepetan sana lo bersihin. Kita tungguin."

Heh, aku tak salah dengar 'kan?

Kita tungguin

Kita tungguin

Perasaanku bahagia sekali Mbak Nesya berucap seperti itu, aku yakin sebenarnya Mbak Nesya tak membenciku. Mungkin hanya karena kurangku saja dia bersikap seperti itu padaku.

Dengan cepat aku menghampiri Mbak Nesya di seberangku, ku tersenyum lebar seraya memperlihatkan kedua ibu jariku.

Kulihat Mbak Nesya hanya memandangku jijik dan secepat mungkin ia mengkibaskan tangannya. Aku mengerti dia mengusirku. Tapi senyumanku tak pernah luntur dan ini membuatku semangat untuk membersihkan dapur.

Ganbatte, Aini !!

.
.
.
Seringkali kita salah menilai orang hanya karena sifat buruknya. Kenalilah lebih dalam orang itu agar diri tak menyesal kala ia berbuat kebaikan terhadap kita.



Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang