Rasanya tubuhku benar-benar lelah dan lemas setelah bolak-balik berjalan. Di cafe aku hanya meminum cappucino buatan Bang Agis, aku belum memakan makanan apapun. Ini sudah malam dan aku merasa kepalaku sakit sekali, cepat-cepat aku mengedarkan pandangan dan yah. Tepat sekali! Tak jauh di depanku ada penjual mie ayam, aku pun menghampirinya.
Ku ketuk gerobaknya dan si penjual melihatku. "Kenapa neng?" Aku memperlihatkan jariku yang membentuk angka 1 dan si penjual langsung mengerti, "oh, yasudah neng duduk dulu, campur 'kan?" Aku pun mengangguk.
Aku bersyukur si bapak penjual yang ku perkirakan umurnya di atas empat puluh itu mengerti maksudku. Biasanya penjual yang lain akan sebal ketika mereka tak mengerti maksudku. Bahkan sampai ada yang mengusirku, itu sudah resiko.
Mengapa aku tak memberitahu lewat tulisan saja? Aku bukannya bermaksud bahwa aku sombong atau tak mau memperlihatkan pada orang lain bahwa aku ini bisu. Tapi aku akan mengungkapkan lewat tulisan bila apa yang ingin aku katakan itu banyak, kalau hanya sekedar memesan makanan dan menyapa atau merespon hal-hal kecil, tak perlu di tulis 'kan?
Saat mie ayam dan minuman hangatku datang, ku pandangi dengan tatapan binar. Maklum aku lapar sekali, si bapak sampai berkata. "Kaya yang liat harta karun aja, Neng?" Diakhiri dengan tawa kecil dan aku pun hanya meresponnya dengan senyum malu.
Perutku sudah terisi dan rasa sakit di kepala pun berkurang, aku duduk sebentar lagi untuk melihat pesan karena ketika aku makan, ponsel jadulku berbunyi. Kalian pasti sudah tahu jika ponsel jadul berbunyi pasti suaranya sangat keras, bahkan si bapak penjual dan pembeli lainnya sempat menoleh padaku.
Pesan dari Nabila yang menanyakan kenapa aku belum pulang. Mungkin dia rindu, hehe. Aku pun membalasnya bahwa sebentar lagi akan sampai rumah. Aku pun beranjak dan mengeluarkan uang berwarna hijau lalu ku berikan pada bapak penjual, aku pun mengetik di ponsel; kembalian nya buat bapak saja.
"Nggak usah, Neng. Ini kembaliannya," aku mengeleng cepat dan menepuk bahu si bapak dua kali, lalu pergi begitu saja.
Saat tiba di depan gang yang menuju rumahku, ku lihat orang yang pagi ku temui bersama Nabila berada di sana menyender pada kap mobil. Terlambat aku untuk bersembunyi, dia sudah duluan melihatku.
"Marie Hutapea," ucapnya dengan suara rendah dan terdengar di telingaku sangat menyeramkan. Terakhir kali aku mendengar suaranya saat aku berhasil membujuk papa untuk tak menghukumnya dan dia berucap sangat lembut. Tapi sekarang?
"Demi Tuhan Bapak, gue gak nyangka lo masih hidup, gue kira lo udah mati kelaparan atau kedinginan. Hebat banget lo bisa bertahan," DEMI ALLAH! Hatiku sangat sakit sekali mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya. Sebenci itukah dia? Dan dia mengharapkan aku mati. Aku kira setelah aku pergi dan tak muncul di hadapannya selama 8 tahun dapat mengilangkan rasa benci dan berharap mencariku. Namun nyatanya?
Tanganku di tarik paksa olehnya, aku meronta melepaskan tapi tak berhasil. Aku di dorong untuk masuk ke dalam mobilnya, dan dia pun duduk di bangku kemudi. Dia melajukan mobilnya dengan cepat, aku was-was saat melihat plang bertuliskan EQOSTIC. Setahuku tempat itu.. oh tidak!
Perasaanku tak enak saat mobil berhenti di tempat biadab itu, ku lihat dia turun dan membukakan pintu mobil lalu menarikku lagi dengan paksa. Seketika kepalaku pusing mencium aroma rokok bercampur alkohol ditambah lagi dengan suara musik yang menggema saat masuk ke tempat biadab itu.
Ya Allah tolong Hamba
Aku hanya bisa berdoa, aku berhusnudzon mungkin dia ingin mengambil sesuatu yang tertinggal atau apa. Aku berharap dia tak macam-macam.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Di Ujung Mentari
General FictionAmazing cover by: Arsani0297 Dia mengatakan padaku dengan sangat tegas "Saya tidak akan pernah membuat satu lubang sekecil apapun untuk merusak hatimu." Aku hanya tersenyum. Aku si wanita yang berbeda dari wanita lain, maukah kamu tahu tentangku? La...