Ternyata benar mereka menungguku, perasaanku bertambah senang. Aku harap ke depannya hubungan kami lebih baik lagi, tak ada macam percecokkan karena diriku. Semoga saja.
"Lo pulang ikut gue," apa? Mbak Nesya mengajakku pulang bersama? Langsung saja aku mengangguk. Ahh, aku senang sekali.
"Lo gila, Mbak?" Mbak Saras tampak tak suka dengan ajakan Mbak Nesya. "Emang ada ya orang ngajak orang lain di bilang gila?" Wuihh, skakmat. Hihi. Seketika Mbak Saras diam dan mencibir tak jelas. Ku lihat Bang Agis yang memandangi Mbak Nesya, seperti sedang menelisir.
"Mbak, lo gak bakal apa-apain si Aini, 'kan? Gue curiga, Mbak."
"Lo boleh nyumpahin gue jadi perawan tua kalo sampe gue buat si bisu ini kenapa-kenapa." Mmm, aku sedikit memajukan bibirku kala Mbak Nesya memanggilku 'si bisu' kembali. Tapi tak apa mungkin saja itu panggilan kesayangan, 'kan?
"Oke. Gue pegang omongan lo."
Kami keluar cafe bersama, sebelum itu Bang Agis mengunci pintu cafe. Dan setelahnya berpisah karena arah rumah saling berlawanan.
Aku duduk nyaman di jok motor Mbak Nesya, menikmati sapuan angin yang menerpa wajahku. Seiring dengan hatiku yang bahagia karena perlakuan hari ini Mbak Nesya sangat manis.
Mbak Nesya menghentikan motornya di area parkir khusus motor, rupanya Mbak Nesya akan berbelanja karena kita behenti di kawasan supermarket.
Akhirnya, setelah lama berkeliling menyusuri rak demi rak, kini aku sedang duduk manis di sofa. Rumah Mbak Nesya sangat minimalis, dan Mbak Nesya tinggal di sini sendiri.
Mbak Nesya datang dengan membawa secangkir teh hangat, aku tersenyum manis padanya. Namun tetap saja Mbak Nesya memandangku dengan tatapan jijik.
Mbak Nesya memberikanku sebuah kertas, ku ambil dam ku baca..... apa?!
Aku tidak salah baca, 'kan?
Isinya; Mbak Nesya memintaku untuk tinggal bersama di rumahnya.
Aku tidak mengerti, lantas aku mengetik di ponsel; Mbak, aku gak ngerti atas ajakannya? Apa boleh Mbak jelasin secara rinci?
Mbak Nesya berdecih, "ck. Udah jelas itu berupa ajakan lebihnya gue memaksa lo buat tinggal bareng! Lo jangan tanya alasannya. Karena nanti lo tau sendiri kalo nyetujuin ini."
Pasti alasannya sangat sesuatu, bukan?
Bagaimana dengan tanggapan Nabila kalau tahu hal ini? Aku merasa tidak enak saja jika harus beralih pindah. Selama ini keluarga Nabila sangat dan banyak membantuku, aku bisa mengontrak itu bantuan dari Nabila. Dari awal bertemu Nabila sekeluarga sudah banyak membantu.
Di umur 13 tahun aku di usir oleh Bunda, bisa bayangkan bagaimana kelanjutan hidupku saat itu? Sangat memprihatinkan. Ya, aku saja mengakui kala itu diriku sangat-sangat memprihatinkan. Hidup luntang-lantung, tidak bersekolah. Untuk makan pun aku harus bekerja sebagai kuli belanjaannya para ibu-ibu, dan aku tidur di masjid yang sangat aku syukuri pengurusnya membolehkan aku untuk tidur sementara. Tak ayal juga aku sering di beri sebungkus makanan dan di berikan beberapa pakaian serta kerudung oleh Pak Ari-pengurus masjid.
Kala itu aku masih satu kota dengan keluarga, jadi tak bisa di pungkiri aku bisa melihat Kakak-kakakku berlalu-lalang melewati jalan pasar. Yang paling sering aku temui itu Kak Doris karena memang dia sering sekali berpergian dengan kendaraan roda dua. Setelah itu, aku memutuskan untuk pindah kota.
Untuk mencapai keinginan itu tentu saja tidak mudah, kurang lebih sebulan aku harus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Tujuan kotaku adalah Bandung. Agak jauh jarak Jakarta-Bandung.
Sampai di sana sama seperti di kota kelahiran, aku tidur di masjid. Pekerjaanku hanya membantu Mak Esih-marbot masjid. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Nabila. Lama kami berteman sampai akhirnya aku di sekolahkan oleh Om Dani, ayah Nabila.
Keluarga Nabila pun menerimaku dengan sangat baik walau aku memiliki kekurangan. Om Dani dan Bu Rani hanya memiliki Nabila. Oleh karena itu, aku sudah dianggap seperti anak mereka sendiri. Sampai ketika aku menginjak kelas sebelas, aku memutuskan untuk mengontrak sendiri karena aku sudah mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai cafe sampai sekarang.
"Udah lo jangan banyak mikir deh! Capek gue liat lo merenung gitu," aku tersentak kala Mbak Nesya berbicara. Aku hanya menyengir saja.
Ponsel; mbak, aku pikirin dulu ya :)
Mbak Nesya hanya manggut-manggut saja, "lo pasti tau kenapa gue minta lo buat pindah ke sini." Serak dan tegas.
.
.
.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka Di Ujung Mentari
Fiksi UmumAmazing cover by: Arsani0297 Dia mengatakan padaku dengan sangat tegas "Saya tidak akan pernah membuat satu lubang sekecil apapun untuk merusak hatimu." Aku hanya tersenyum. Aku si wanita yang berbeda dari wanita lain, maukah kamu tahu tentangku? La...