LDUM-14

1.4K 126 13
                                        

Bersyukur, karena cafe sudah ramai seperti biasa. Hati senang-kerja pun riang, segera mungkin aku bersiap-siap memakai opron. Aku tersenyum pada Bang Agis yang sedang melakukan pekerjaannya.

Aku mengambil alih baki yang di bawa Mbak Saras, "Ishhh. Ngagetin lo," aku menyengir namun tetap saja Mbak Saras menyerahkannya padaku dan dia mengambil baki yang lain. Di baki tertera kertas meja nomor 7, seperti biasa aku mengetukkan meja dan kedua perempuan itu mengalihkan pandangan padaku dan tersenyum, mereka sudah mengenalku dan mereka selama ini bersikap baik padaku. Mbak Naya dan Mbak Resta, karyawan yang bekerja di kantor yang sama dengan Azka. Eh, berbicara Azka. Apa dia ada di sini? Aihh.. inget move on, Ai. Hihi.

"Mbak waiters!" Aku menengok pada orang yang memanggilku, ku bungkukkan badanku dan tersenyum pada Mbak Naya dan Mbak Resta.

Aihh.. ini 4 lelaki yang menertawakanku dan aku masih ingat pada lelaki bertopi yang sedang memainkan ponselnya itu. Mungkin dia tak sadar dan tak ingat sama sekali dengan kejadian itu. Aku mendengus pelan, ingin rasanya aku menggeplak wajahnya itu.

"Hai, Mbak." Sapa pria berjaket hitam, aku hanya tersenyum saja. Lalu ku keluarkan pulpen dan buku pesanan, sudah beberapa menit namun di antara mereka tidak ada yang bersuara. Mereka malah memperhatikanku dari atas sampai bawah, sabar Aini sabar. Orang sabar pintu rezekinya terbuka lebar.

Aku mendengar suara deheman, hey. Dia yang waktu itu menggeplak kepala empat lelaki ini. Ku tersenyum ramah padanya karena dia pelanggan. "Kita hanya memesan kopi saja," peka sekali dia. Aku pun permisi berpamitan.

Aku menyobek kertas itu dan menyerahkannya pada Bang Agis, ku tepuk lengannya dan dia mengerti. Selama menunggu kopi siap, aku melakukan pekerjaan lain. Membersihkan meja dan mengangkut piring, gelas kotor bekas pelanggan yang telah pergi.

"Mbak," pria bertopi biru tua menghampiriku. Jadi teringat kejadian itu, percuma saja aku memberitahunya dia tidak akam tahu dan tidak akan ingat sama sekali. Aku membuat senyuman seramah mungkin, aku selalu memegang prinsip dalam bekerja di cafe pelanggan adalah raja dan ratu.

"Mbak mau saya bantu?" Aku menggeleng dan segera pergi. Aku menghampiri Bang Agis, ternyata kopi nya sudah siap. Ku bawa dengan hati-hati dan...

Semua gelas kopi jatuh berserakan karena tanganku tiba-tiba ditarik dengan sangat kuat. Allah, setelah kulihat dia Kak Frans. Aku melupakan satu hal bahwa Kak Frans tak akan pernah melepasku begitu saja. Aku lihat Bang Agis berlari ke arahku, "bangsat! Lepasin tangan kotor lo dari ade gue!" Bang Agis mencoba melepas tangan Kak Frans. Bang Agis terhuyung ke belakang karena tendangan Kak Frans.

Kak Frans menyeringai padaku. Ini bukan seperti Kak Frans yang dulu, apa salahku Kak? Aku menunjukkan wajah sedih. Wajah Kak Frans berubah sendu dan perlahan tangannya memegang pipiku, Kakak...

Air mataku jatuh mengenai tangan Kak Frans, semuanya terdiam melihat aku dan Kak Frans. Aku beranikan memeluk Kak Frans, aku menangis tanpa suara. Hatiku sakit sekali, sudah sejak lama aku ingin menumpahkan air mata di hadapan keluargaku. Aku ingin semuanya seperti dulu tanpa adanya kebencian karena perbedaan agamaku sekarang.

Ku rasakan tangan Kak Frans memeluk punggungku, aku tahu Kak Frans sangat menyayangiku. Aku berharap ini bukan mimpi dan aku ingin Kak Frans tak membenciku lagi.

"Marie.. Kakak sayang kamu," aku tambah menangis lagi mendengar kejujuran Kak Frans, dalam peluknya aku mengangguk berulang kali. Aku tambah erat memeluk Kak Frans.

Kak Frans melepaskan tangannya pada punggungku beralih memegang kedua bahuku. Wajahnya menyeringai kembali, "tapi rasa sayang gue ilang semenjak lo diusir, Aini." Kak Frans menatapku penuh dengan kebencian, "Marie, udah mati dan lo juga harus mati!" Ya Allah, kedua bahuku dicengram dengan kuat. Sakit sekali.. aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis.

"Bangsat lo!" Bang Agis meninju pipi Kak Frans, lalu mencengram kerah Kak Frans. "Pergi lo dari sini dan jangan pernah kembali lagi ke sini!" Aku tak tega melihat sudut bibir Kak Frans berdarah. Namun aku takut mendekatinya.

Kak Frans tertawa lalu menatapku, "sayang! Nanti kita main lagi ya. Bye adikku sayang." Aku hanya diam menangis melihat Kak Frans perlahan menghilang dari pandanganku. Mengapa kau begitu membenciku, Kak?

Bang Agis menghampiriku dan Mbak Nesya berlari ke arahku, ia langsung memelukku dengan sangat erat. "Dek, sabar ya. Ada kami semua di sini." Mbak Nesya memanggilku 'dek' aku tersenyum lebar, ku dengar Bang Agis tertawa pelan dan Mbak Saras melihatku dengan tatapan sinis. Nanti juga luluh, hihi.

"Maaf atas kejadian tadi, dan maaf telah membuat kalian tidak nyaman. Akan kami pastikan kejadian seperti tadi tak akan terulang." Bang Agis yang bersuara, Mbak Nesya melepaskan pelukannya dan tersenyum manis padaku. Aku pun membalasnya tak kalah manis.

Aku beralih menatap semua pelanggan dan tersenyum sungkan, saat pandanganku bertuju pada meja yang ditempati lima lelaki, aku melihat lelaki jas itu menatapku dengan datar. Hey, kenapa dia?

Keadaan cafe pun kembali seperti semula.

.
.

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang