LDUM-31

1.4K 158 31
                                    

Ini aku ngetik di sela kegiatan nemenin adikku hapalan juz amma, wkwkwk.

Happy reading, guys😄

⬇⬇⬇

Dengan amarah membuncah di dada, dengan sisa tenaga aku mendorong badan Naufal yang dua kali lipat lebih besar dariku. Beraninya dia memelukku, beraninya dia menyentuhku!

Dan beraninya dia menyebutku 'sayang'!

Sekarang aku tidak bisa menggerakan tanganku, seluruh tubuhku gemetar. Rasanya aku ingin menangis dengan kencang, tapi aku tau itu mustahil. Dengan sisa tenaga, aku menopang pada tembok, dan sebelum aku terjatuh, Ayu sudah lebih dulu merangkul bahuku.

"Gak seharusnya kamu peluk orang sembarangan. Terlebih perempuan, dan kamu tau sendiri Aini gak suka disentuh sama cowok!"

Lamat-lamat aku menatap wajah Ayu. Disitu tergambar jelas raut terluka dan kecewa. Kenapa? Apa dugaanku benar, bahwa Ayu menaruh rasa pada Naufal?

"Gue ... gue kalap. Pas denger Aini dibully habis-habisan sama geng setan itu, gue langsung cari Aini, dan gue nemuin dia di sini. Gue lega dan tanpa sadar gue, uhm ... lo tau sendiri. Tapi sumpah demi kegantengan gue, gue gak ada niat melecehkan!"

Ayu menatapku dan aku menggelengkan kepala.

"Aini masih shock sama pembullyan tadi, dan pelukan tiba-tiba kamu. Jadi, aku minta kamu pergi dari sini. Karena kamu udah tau kan keadaan Aini gimana?"

Aku menatap Naufal yang juga menatapku. Aku risih karena secara terang-terangan dia memindai tubuhku, aku meringsut ke belakang tubuh Ayu. Sempat kulihat Naufal mengacak rambutnya kasar.

"Izinin gue buat beli pakaian baru buat Aini, boleh?"

Ayu menoleh ke arahku dan memegang lembut tanganku.

"Aini, aku rasa biar Naufal yang beli pakaian ganti buat kamu. Gak mungkinkan aku yanh beli, terus ninggalin kalian berdua di sini?"

Aku kikuk. Ada yang ingin aku omongkan, tapi aku malu. Ayu seakan mengerti perasaanku, kemudia Ayu berbisik. "Aku bakal bilang buat beli pakaian luarnya aja, kok."

Uh, aku malu, dan sekilas melirik Naufal yang memperhatikan kami. Kuharap Naufal tidak mendengar, tapi nanti dia juga tau karena Ayu akan memberitahu dia, kan?

Tidak ada jaln lain. Akhirnya aku mengangguk meski ragu-ragu.

Ayu maju dan berbicara pada Naufal. Kulihat wajah Naufal memerah sampai ke telinga. Selanjutnya ia berdehem canggung.

Uh, aku mengerti.

***

Setelah insiden pembullyan itu, aku merasa makin hari Naufal, makin sering berada di sekitarku. Entah saat aku di kampus, di jalan pulang, di kafe, bahkan ketika aku di warung kecil sekalipun. Aku tau dia memperhatikanku, tapi dengan sengaja aku seolah-olah tidak mengetahui keberadaannya.

Entah apa alasan kamu, Naufal, melakukan hal itu. Aku jadi labil dengan penilaianku terhadapnya. Karena setelah pembullyan itu juga, Naufal tidak mengajakku berbicara. Seperti yang kubilang; hanya memperhatikan saja.

Aku mengembuskan napas lelah.

Hujan deras menjadikan kafe sepi pengunjung. Hal ini aku manfaatkan duduk dekat jendela. Melihat pemandangan lalu lalang kendaraan di luar ditemani guyuran hujan yang memekakan telinga.

Dalam keadaan seperti ini, air mataku menetes. Aku rindu keluargaku. Rindu ayah, bunda, dan kedua abangku. Tiada hari yang kulewati dengan perasaan rindu yang kian menjadi.

Aku merasa sendiri, aku merasa sepi. Aku lemah, tapi harus menjadi kuat karena keadaan. Aku anak manja, tapi harus menjadi mandiri juga karena keadaan. Tidak ada lagi sapaan manis kala mataku terbuka di pagi hari, tidak kurasakan lagi pelukan hangat dari bunda, pelukan penuh sayang dari ayah, dan pelukan posesif dari kedua abangku.

Juga... tidak ada lagi ucapan; Marie, happy birthday! Gak nyangka kamu jadi gadis yang jahil. Kami selalu berdoa, semoga kamu selalu dalam lindungan, diberi kebahagiaan. Dan ingat, kami akan selalu menyayangimu, my little swetie.

Ya... hari ini adalah hari kelahiranku, dimana kini usiaku bertambah menjadi 23 tahun. 7 tahun sudah aku menjadi seorang mualaf. Tentu saja itu tidak mudah, apalagi tidak ada pendukung dari keluargaku. Aku tau mereka sangat marah bahkan marah. Sampai aku diusir hari itu. Mengingat pengusiranku, terbayang kembali wajah kecewa, marah, dan benci. Itu adalah hari paling menyedihkan bagiku, juga awal kehidupan sesungguhnya dimulai. Dengan berkeyakinan pada agama yang jelas-jelas benar. Aku yakin Allah akan memberi bahagiaku suatu saat nanti.

Dengan perasaan sedikit lega, aku menghapus air mataku. Aku mencoba melengkungkan bibirku menjadi sebuah senyuman, menatap kembali ke jalanan. Mengagungkan kebesaran Allah yang menciptakan hujan.

Di saat mataku menjelajah, dengan sadar aku mengucek mataku. Mencoba memastikan keberadaan seseorang di sana.

Naufal... ya, di bawah pohon dengan berbajukan jas hujan, Naufal berdiri di sana dengan tatapan lurus padaku. Kurasa Naufal menyadariku karena dia kemudia melambai-lambaikan tangan padaku dan tersenyum lebar.

Jarak aku dan Naufal tidak terlalu jauh, hanya saja aku kesulitan untuk membaca gerak tangannya, karena kaca sedikit buram. Naufal seakan mengerti, dia dengan perlahan menggerakkan tangannya.

Jangan nangis

Gue takut nanti banjir karena ditambah guyuran air dari mata lo.

Lo kangen ya sama gue

Jadinya nangis kayak gitu

Gue juga kangen lo

Tapi melihat lo dari jauh cukup kok bagi gue

Jadi gue gak nangis

Udah jangan nangis terus ya

Nanti cantiknya ilang

Gue selalu ada di sekitar lo kok

Untuk pertama kalinya aku tertawa pelan untuk Naufal. Biarkan saja dia mau berkata apa, tapi aku terhibur oleh apa yang disampaikannya. Dasar sok tahu.

Naufal yang melihatku tertawa, berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil. Ya ampun dengan tingkahnya seperti itu aku takut dia dikira orang gila ditambah cuaca sedang hujan begini.

Naufal melambai lagi padaku. Dia mulai menggerakan lagi tangannya.

Gue harap

Gue jadi orang yang pertama ngucapin

Selamat ulang tahun Aini

Lo makin tua makin menjadi ya

Tambah cantik

Makin cinta deh gue

Gue gak tau caranya doa gimana

Jadi nanti kalo lo doa

Gue yang ngaminin

Harapan gue sih

Semoga lo balas perasaan gue

Setelah menyampaikan itu, Naufal memposisikan kepalan kedua tangannya di sudut mata, lalu menggerakkannya bermaksud; jangan menangis. Kemudian Naufal pergi menerobos hujan entah kemana.

Aku memegang pipiku yang ternyata memang basah. Aku menangis lagi?

Naufal kamu sudah buat aku terharu sampai menangis. Dan kamu benar. Kamu orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun padaku.

Naufal... lagi dan lagi kamu membuatku labil.

Naufal... aku takut jika aku mempercayaimu. Aku takut terluka dan kecewa lagi.

Allah... begitu hebatnya Engkau membolak-balikkan hati manusia.

***

Iya tau pendek, wkwkwk.

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang