LDUM-8

1.8K 144 6
                                    

Tiga hari lagi akan di adakan ujian semester, aku tahu itu berhubungan dengan uang. Uangku tak cukup untuk membayar, tak mungkin aku harus meminjam pada Nabila, hutangku saja belum lunas. Aku tak ingin merepotkan lebih Nabila.

Sempat terbesit pinjam pada Bang Agis tapi aku tahu Bang Agis sedang mengumpulkan uang untuk biaya pernikahannya. Dan kemarin Bang Agis bercerita padaku bahwa dia ngidam ingin membeli motor keluaran terbaru tahun ini.

Sedangkan gajian sekitar 2 minggu lagi, apa aku mencoba untuk meminta uang gaji sebelum waktunya saja? Rasanya pusing sekali bila sudah berhadapan dengan hal seperti ini, Ya Allah.. apa yang harus ku lakukuan?

Akan ku pikirkan jalan keluarnya nanti. Sekarang aku harus menyusul Nabila di kantin, kami berpisah saat di koridor. Alasanku ingin ke toilet, memang benar aku ke toilet. Tujuanku karena semenjak pihak kampus mengumumkan dan menagih uang ujian kepalaku mendadak panas. Jadilah aku ke sana memikirkannya, tempatnya tak etis sekali, bukan?

"Kamu lama sekali di toiletnya, Ai?" Aku menunjukkan wajah lemas. "Oh, kamu habis nabung, toh. Pantas saja, sudah cepat ayo tuh siomay nya dimakan! Aku traktir lagi," aku berbohong pada Nabila. Maafkan aku Nabila.

Aku menunjukkan raut senang saat mendapat traktiran darinya lagi. Nabila memang kau sahabat terbaik, aku mengusap lengannya sebagai tanda terimaksih. Nabila mengerti karena memang aku sudah terbiasa.

"Wa'alaikumsalam, Kak... iya, kosong... oh oke, Kak... iya sampai ketemu nanti."

Ku dengar Nabila bercakap dalam telepon, entah dengan siapa dia berbicara. Nabila menggigit bibir bawahnya seperti ingin menyampaikan sesuatu namun ragu, langsung saja aku mengetik di ponsel lalu aku perlihatkan padanya; ada apa?

"Maaf, Ai. Sepulang kampus nanti aku tak bisa mengantarmu, aku ada urusan. Kamu gak marah, 'kan?" Aku mengangguk mengerti, tapi sebenarnya aku ingin bertanya dengan siapa dia ada urusan. Biasanya dia akan menjelaskan lebih rinci padaku. Tapi, ya.. mungkin ini privacy baginya. Seseorang pun punya batasan, bukan?

Dan masalah 'mengantar' itu Nabila sudah memiliki kendaraan roda dua sendiri. Diberikan oleh Om Dani, ayah Nabila. Sebagai hadiah karena Nabila sudah hafal sampai juz 22. Maa Syaa Allah. Aku jadi iri, hehe. Serasi sekali bukan jika Nabila dan Azka berjodoh?

"Terimakasih, Ai sudah mengerti. Oh, iya. Denger-denger kampus kita terutama jurusan Sastra akan mengadakan event lho, Ai. Dan katanya juri nya tokoh Sastra. Tapi itu baru katanya, sih. Kemarin grup ramai membicarakannya." Wah, aku senang mendengarnya. Semoga saja itu terjadi. Begini nih kalau gak punya ponsel canggih, pasti selalu ketinggalan info. Tapi aku bersyukur setidaknya ada Nabila yang selalu memberitahu.

Nabila ini orang yang paling tahu tentang diriku dan masa laluku, aku tak pernah menceritakannya lagi pada siapapun. Ke Bang Agis hanya masalah aku seorang Mualaf saja.

Nabila sudah ku anggap sebagai tenpat curhat seperti Mamah Dedeh, hihi. Apapun yang aku curhatkan dia selalu mendengarkan dan baiknya lagi, dia tak pernah bosan jika aku curhat berulang kali mengenai hal yang sama dan dia sabar ketika menungguku menulis curhatanku di buku.

Nah, untuk masalah kemarin aku tak ingin menceritakannya pada Nabila. Aku tak ingin menambah beban pikirannya, untuk masalah ini biarlah aku sendiri yang menangani. Tak perlu Nabila berat berpikir untuk masalahku. Cukup, aku tak ingin merepotkan dia lagi.

.
.
.

Dia yang selalu bersama dalam suka maupun duka pantas untuk di pertahankan. Siapapun itu!




Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang