LDUM-1

6.2K 287 32
                                    

Sebuah tamparan keras melukai pipi kananku. Sakit.., sakit sekali. Aku hanya diam tak berani melawan. Walau tenggorokanku rasanya tercekat, dadaku menghimpit membuatku sesak. Aku menahan agar tak menangis.

Masih dengan memegang pipi, aku memberanikan menatap satu-persatu keluargaku. Kebencian tergambar jelas di raut wajah mereka. Pandanganku terhenti pada sosok yang telah melahirkanku. Beliau memalingkan wajah saat netra kami bertemu. Sempat ku lihat, matanya memerah dan pipinya membasah. Itu artinya beliau menangis, 'kan?

Dadaku bergemuruh hebat, aku berharap beliau satu-satunya yang tidak benci padaku. Aku memberanikan diri mendekatinya. Namun...

"Jangan mendekatiku, penghianat!" Aku pun berhenti melangkah, diam mematung dengan pandangan berpusat pada wanita yang sangat aku sayang. Bundaku, bidadari tak bersayapku pun membenciku. Jatuh sudah air mata yang ku tahan kala bunda menyebutku 'penghianat'.

"Pergi kau dari rumah ku! Kau bukan anakku lagi, aku benci melihatmu. PERGI!" Air mataku jatuh tak terhingga, ku pejamkan mataku. Ku hapus air mata ini dengan tangan, dan aku memaksa tersenyum walau 1000 pisau seakan menancap di hatiku. Aku pun berbalik dan melangkah menjauh, entah aku akan kemana. Meninggalkan semua kenangan manis, aku yakin jalan yang aku pilih sudah tepat. Dia Tuhan seluruh alam pasti akan memberiku kemudahan dan senantiasa melindungiku. Aku yakin itu.

Selamat tinggal untuk orang-orang terkasihku, aku selalu mendoakanmu.

.
.

Luka Di Ujung MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang