Arlan menyetir dengan sangat hati-hati. Meskipun masih jam delapan malam, lelaki itu harus bisa menguasai diri. Matanya terasa berat, tubuhnya lemah butuh istirahat dan Arlan mulai merasakan tanda-tanda ia akan mengalami demam.
Sebenarnya, Arlan akan pulang larut malam seperti biasa. Hanya saja, kondisinya saat ini tidak memungkinkan. Arlan jarang demam, tetapi saat jatuh sakit, tubuhnya akan langsung melemah.
Dokter Keano, sahabat terdekatnya di Rumah Sakit Pelita, menyarankan agar ia segera pulang. Arlan tentu saja menolak dengan alasan ingin mengecek keadaan para pasiennya, tetapi Keano berjanji akan menggantikan posisi Arlan untuk malam ini dan memaksanya pulang. Akhirnya, Arlan mengalah dan di sinilah ia sekarang, duduk mengendarai mobil dengan ekspresi super muram.
Arlan mengerjapkan matanya berulang kali agar fokus. Tidak lucu jika ia nanti menabrak anak orang yang tak sengaja lewat, bukan?
Dalam diam, pikiran Arlan berkelana. Ia langsung memikirkan Nadia tanpa sadar. Perempuan itu, sahabatnya itu, Arlan bukannya tidak merasa. Arlan tahu benar sorot mata kagum di manik mata gadis mungil itu, tatapan memuja dan hasrat untuk memiliki yang terpatri di wajah cantiknya. Arlan melihat semua itu dengan sangat jelas, hingga sampai sekarang ia bingung harus bersikap seperti apa.
Dicintai oleh sahabat sendiri bukanlah hal yang terlintas di pikirannya. Sekali pun, Arlan tak pernah menduga.
Arlan menghela napas. Rasa pusing di kepalanya kian terasa. Ia menatap ke pinggir jalan yang sepi, lalu tertegun saat melihat seorang perempuan berjalan gontai sambil menunduk dalam.
Gadis itu berhijab. Dari gerak-geriknya, Arlan sudah bisa menebak.
"Nayna?"
Lelaki itu segera menepikan mobil dan keluar dari sana. Ia berjalan cepat-cepat menghampiri Nayna yang sama sekali belum menyadari keberadaannya.
"Nayna!"
Perempuan itu mengangkat kepala, membuat Arlan yang sudah siap menodong pertanyaan langsung terdiam tanpa kata. Kedua mata Arlan melebar saat melihat jejak air mata membasahi pipi Nayna.
"Nayna, kamu kenapa?"
"Arlan ...." Wajah Nayna pucat. Tubuhnya bergetar hebat.
Arlan maju selangkah. Ada sorot khawatir di matanya. "Apa yang kamu lakukan di sini, Na? Malam-malam begini, di tempat yang sepi. Terus, kenapa juga kamu menangis?"
"Arlan, syukurlah kamu datang," ucap Nayna dipenuhi kelegaan luar biasa.
Arlan mengernyit bingung. Tanpa bicara, sorot matanya seolah mengatakan agar Nayna menjelaskan semuanya.
"Aku ... tadi aku berniat mencari Nayra, Ar—"
"Nayra?" potong Arlan sambil mengangkat alis tinggi-tinggi.
"Iya." Nayna mengangguk cepat. Gurat wajahnya perpaduan antara sedih dan lelah. "Dia keluar jam sepuluh pagi dan belum pulang sampai sekarang. Aku khawatir banget, Ar. Mama sama Papa juga nanyain Nayra terus, jadi aku memutuskan untuk mencari dia."
Arlan diam, menunggu Nayna melanjutkan.
"Tapi ... aku malah dirampok oleh orang jahat. Dompet, ponsel dan tas aku diambil sama mereka. Aku juga hampir diperkosa, tapi untungnya berhasil kabur." Nayna menangis sesenggukan.
Mendengar cerita Nayna, kedua tangan Arlan terkepal geram. Ia refleks mengutuk pelaku kejahatan yang berniat mencelakai Nayna.
"Makasih udah datang. Makasih banyak." Air mata Nayna semakin berlinang, juga wajahnya yang tampak terpukul teramat sangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Innocent Wife
RomanceMahesa Arlanzio adalah seorang dokter muda yang sangat menyayangi ibunya. Apa pun permintaan sang ibu, Arlan akan selalu mengabulkan. Jadi, ketika ibunya meminta ia menikah dengan Anayra Lusiana, tanpa berpikir panjang Arlan langsung mengiyakan. Nam...