"Kenapa nggak bilang kalau sakit?"
Entah sudah berapa kali Faya mengomel. Mengetahui anak lelakinya mengalami demam tinggi, wanita itu dilanda panik setengah mati. Saat mengetahuinya, ia langsung memaksa Arlan minum obat, lantas menyuruhnya berbaring. Wanita itu pun dengan sigap mengambil baskom air, duduk di pinggir ranjang dan mulai mengompres dahi Arlan dengan handuk kecil yang telah dicelupkan ke dalam air dingin.
"Udah, Ma. Arlan lagi sakit, nih. Kok malah diomelin terus?" gerutu Arlan sambil menahan pusing. Kepalanya yang sakit semakin sakit karena omelan ibunya yang seakan tiada henti.
Faya malah mendelik. "Kamu, sih, kebiasaan. Mama itu khawatir sama kamu, Ar."
"Cuma demam biasa, Ma," ucap Arlan lemah sambil menaikkan selimutnya yang melorot. Tubuhnya menggigil, berbanding terbalik dengan suhu tubuhnya yang panas bukan main.
"Tubuh panas kayak bara api itu masih kamu sebut demam biasa?" Faya melotot, tetapi tangannya tetap membantu menaikkan selimut Arlan sampai ke bahu. "Besok nggak usah kerja dulu, ya?"
Arlan menggeleng. "Ada banyak pasien yang harus Arlan urus."
"Urus diri kamu dulu, baru ngurus orang lain." Faya berdecak jengkel. "Pokoknya besok nggak boleh kerja. Biar Mama kabarin Dokter Keano."
Tanpa menunggu persetujuan sang anak, wanita itu segera mengambil ponsel Arlan di atas meja nakas samping tempat tidur, lalu mengotak-atik benda itu. Setelah beberapa saat, senyum Faya mengembang. Ia kembali meletakkan ponsel Arlan dan tatapannya melembut.
"Kamu anak Mama, Arlan. Kalau mau merengek dan minta diurusin, bilang aja. Mama nggak keberatan," ucapnya.
"Arlan bukan anak kecil lagi, Ma," bantah Arlan.
"Tapi kamu tetap anak kecil bagi Mama." Faya mengelus wajah tampan anaknya dengan telapak tangan. Senyumnya semakin mengembang karena tak kuasa menahan rasa senang. "Anak Mama yang ganteng ini akan segera nikah, ya. Mama nggak nyangka."
Arlan langsung merengut. "Mama jangan bahas pernikahan dulu, deh. Arlan tambah menggigil, tahu nggak?" sungutnya.
"Ngaco kamu." Ibunya malah terkekeh, mengusap rambut Arlan dengan penuh kasih. Arlan memejamkan mata, menikmati perhatian ibunya dengan hati yang luar biasa bahagia.
"Mama tidur aja, ini sudah larut malam. Biar Arlan kompres sendiri," kata Arlan saat menyadari raut lelah Faya. Wajah wanita itu tampak layu, butuh istirahat. Arlan jadi tak tega melihatnya.
"Mama tetap mau di sini, Ar. Merawat kamu." Faya meraih handuk basah di dahi Arlan dan kembali mencelupkannya ke dalam baskom berisi air dingin. Setelah beberapa saat, ia memeras handuk itu dan kembali meletakkannya di dahi Arlan.
"Nggak apa-apa, Ma." Arlan masih bersikeras. "Mama balik aja ke kamar dan segera tidur," ucapnya.
"Mama baik-baik aja, Arlan. Biarin Mama yang merawat kamu malam ini." Faya berkata final, membuat Arlan tak punya pilihan selain mengangguk pasrah.
Hening. Faya mengulangi kegiatannya beberapa menit sekali. Membiarkan handuk basah itu menyerap suhu panas di dahi Arlan, lalu mengambilnya dan mencelup benda itu ke dalam air. Setelah meletakkannya kembali ke dahi anaknya, Faya mengusap pipi Arlan, sedangkan lelaki itu sudah jatuh tertidur lebih dulu.
Faya mengamati wajah anaknya dalam diam. Selang beberapa detik, wanita itu meraih tangan Arlan dan menggenggamnya lembut. Sorot mata Faya teduh, penuh harapan. "Nanti, jadilah suami yang baik, ya, Nak. Jangan lupa kasih Mama cucu yang lucu-lucu. Nayra adalah gadis baik. Mama yakin kamu nggak akan menyesal menikah dengan dia."
Tak diketahui oleh Faya, suara itu rupanya menelusup ke dalam mimpi Arlan. Membuatnya bertanya-tanya karena tak yakin.
Benarkah?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Innocent Wife
RomantizmMahesa Arlanzio adalah seorang dokter muda yang sangat menyayangi ibunya. Apa pun permintaan sang ibu, Arlan akan selalu mengabulkan. Jadi, ketika ibunya meminta ia menikah dengan Anayra Lusiana, tanpa berpikir panjang Arlan langsung mengiyakan. Nam...