Bagian 8

7.1K 345 7
                                    

"Papa minta maaf."

Nayra yang sedang asyik menyantap cokelat mahal itu akhirnya menoleh. Sebelah alisnya terangkat. Cukup heran karena ini adalah kata-kata pertama ayahnya setelah satu jam mereka membiarkan hening berkuasa.

"Papa minta maaf karena sudah menyembunyikan penyakit Papa dari kamu," ujar Hendra lagi. Memperjelas semuanya. Sikap Nayra yang santai seperti ini membuat Hendra semakin dirundung rasa bersalah.

"Kenapa minta maaf?" Nayra menghabiskan potongan cokelat terakhir dan membuang bungkusnya sembarangan. "Papa menyesal karena bikin Nayra jadi orang jahat?"

"Maksud kamu?"

"Selama ini, kan, Nayra selalu bikin Papa naik darah. Padahal Papa sakit jantung." Nayra menarik kursi dan duduk di samping ranjang ayahnya. Kedua mata perempuan itu melirik Hendra dengan pandangan menuduh. "Jangan bilang ... Papa mau nyalahin Nayra karena penyakit Papa tambah parah?"

"Astaga, Nayra." Ayahnya menggeleng tak percaya. "Mau sampai kapan kamu suka berprasangka buruk sama orang?"

"Nayra cuma bilang kenyataan, kok." Ia menelusuri tubuh ayahnya yang sudah tampak lebih segar dibanding kemarin. Masker oksigen sudah dilepas, hanya infus saja yang masih menempel di punggung tangan Hendra. Melihat itu semua, Nayra diam-diam tersenyum puas.

"Papa sama sekali nggak nyalahin kamu, Ra. Papa justru khawatir kalau kalian tahu."

Ngomong-ngomong soal 'kalian', Hendra refleks mengedarkan pandangan. Mencari sosok istrinya serta saudara kembar Nayra. Akan tetapi, mereka tidak muncul, membuat Hendra kebingungan.

"Mama lagi ambil baju ganti di rumah. Kalau Nayna, sih, katanya mau menyelesaikan novelnya." Nayra mengangkat bahu seolah tak peduli.

"Oh iya." Hendra mengangguk paham. "Papa dengar dia pernah bilang deadline-nya hari ini."

Nayra tersenyum sinis saat melihat wajah bangga ayahnya. Kembarannya itu memang luar biasa. Selain berhasil menjadi penulis novel terkenal, ia juga sukses mendapat seluruh perhatian dari kedua orang tua mereka hingga tak menyisakan sedikit pun untuk Nayra yang menyedihkan.

"Kamu sendiri nggak kerja, Ra?" Hendra menatap Nayra heran.

Nayra memutar bola mata. "Nggak usah nanya hal bodoh, deh, Pa. Udah tahu Nayra di sini, ya berarti nggak kerja."

"Emang Davin nggak marah? Bulan ini kamu sering off Papa perhatikan."

Ayahnya ini memang dekat dengan Davin. Saat mengetahui bos Nayra adalah pria itu, Hendra malah senang sendiri. Dan tampaknya, putusnya hubungan antara Davin dan Nayra serta kabar Davin yang sudah punya tunangan tidak membuat kedekatan mereka juga berakhir. Hendra masih bersikap ramah saat bertemu Davin, begitu pula sebaliknya.

"Dia nggak bakalan marah." Nayra mengibaskan tangan dengan ekspresi super datar. "Lagian Nayra juga minta cuti sekalian."

"Cuti?"

"Cuti nikah," sahut Nayra cepat.

Mata Hendra berkedip. "Maksud kamu?"

"Nayra setuju soal perjodohan kemarin." Ada nada tidak ikhlas yang terselip di suara Nayra, tapi Hendra tidak menghiraukan wajah masam putrinya karena terlampau senang.

"Kamu serius, Nayra?" Wajah Hendra persis seperti anak kecil yang dibelikan balon udara.

"Cuma kasihan aja melihat Papa terkapar kayak gini." Nayra memberi tatapan mencemooh.

Seakan tak mempedulikan, Hendra malah tersenyum lebar. "Makasih, ya, Ra."

Perempuan itu diam-diam tersenyum, tapi langsung berlagak angkuh saat Hendra menatapnya. "Sembuh aja dulu, baru bilang makasih. Pokoknya nanti, Papa harus kasih hadiah pernikahan yang cetar buat Nayra," ucapnya. Hendra langsung terbahak.

The Innocent WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang