Bagian 4

8K 402 5
                                        

"Kamu kelihatan capek banget."

Nadia menatap Arlan lekat, menyadari lingkaran hitam di bawah mata sahabatnya yang cukup mengganggu pemandangan. Arlan tampak kusut dan berantakan. Gurat lelah terlihat jelas di wajah tampannya.

"Kamu kurang tidur, Ar?" tanya Nadia perhatian. Ada kilat kekhawatiran di kedua matanya.

Arlan mendongak, balas menatap Nadia sekilas, lalu kembali fokus menyantap makan siang. "Aku baik-baik aja," ucapnya singkat. Terlihat jelas kalau ia tidak ingin membahas soal ini lebih lanjut.

Sekarang, mereka sedang makan siang di kantin rumah sakit. Arlan memesan nasi ayam panggang, sedangkan Nadia memilih tumis cumi-cumi sebagai menu santapan. Makanan sederhana yang benar-benar lezat, juga berharga murah dan sangat pas untuk para pekerja.

"Kalau gitu ... ada yang mengganggu pikiran kamu?" Nadia masih tidak menyerah.

Arlan tersenyum tipis. "Aku nggak apa-apa, Nad."

Tanpa sadar Nadia menghela napas panjang. "Aku cuma khawatir aja, Ar. Soalnya selama ini kamu nggak pernah terlihat kusut kayak sekarang," ungkapnya.

"Cuma ada masalah kecil semalam," sahut Arlan. Merasa tak tega jika harus membuat Nadia semakin khawatir kepadanya.

"Gitu, ya?" Nadia menyuap satu sendok nasi dan mengunyah secara perlahan. "Terus, gimana pasien-pasien kamu?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Ya begitulah." Arlan mengangkat bahu. Ia bersandar di sandaran kursi sambil mengusap mulutnya menggunakan tisu. "Mereka baik-baik aja. Cuma satu orang yang aku pikir nggak punya harapan untuk hidup."

"Maksud kamu?"

"Kanker otak, stadium akhir." Arlan memandang sahabatnya lekat. Ada sorot sedih di manik matanya. "Semua terapi dan pengobatan sudah dilakukan, tetapi nggak ada hasil. Percuma aja."

"Gimana sama pasiennya? Apa dia ... udah mengetahui kondisinya sendiri?"

"Ya, tapi ia orang yang tegar, Nad. Namanya Diandra. Perempuan berusia dua puluh satu," ucap Arlan dengan ekspresi muram.

"Muda banget." Nadia menutup mulutnya, terlihat syok. Terselip gurat iba di wajah cantiknya. "Kasihan banget dia, Ar."

"Makanya itu, Nad. Aku jadi serba salah. Mau banget nyelamatin dia, tapi melihat kondisinya yang sekarang, aku pikir udah nggak bisa."

Nadia mengamati Arlan yang berubah murung. Ia mengulas senyum kecil. Ragu-ragu, perempuan itu meraih tangan kanan Arlan yang berada di atas meja, lalu menggenggamnya perlahan.

"Kamu pasti bisa melakukan yang terbaik, Ar. Aku yakin itu," ujar Nadia lembut. Sementara itu, senyumnya terukir manis. "Sebagai seorang dokter, kita wajib mengerahkan segala usaha demi menyelamatkan nyawa pasien."

Arlan hanya menatap jemari mungil Nadia yang menyentuh tangannya tanpa bersuara.

"Kita akan melakukan yang terbaik, Arlan. Sebisa mungkin. Namun, ajal nggak ada yang tahu. Jika kita bersikeras, tetapi Tuhan nggak mengizinkan, maka kita harus bisa menerima kenyataan. Semua kegagalan kita di meja operasi atau pada saat kita memberikan pertolongan darurat, semua itu adalah takdir, bukan salah kita."

Arlan tertegun, merasa takjub dengan ucapan Nadia yang kelewat bijak. Selain cantik, Nadia sangat baik dan dewasa. Arlan teramat bersyukur karena bisa mendapatkan sahabat sesempurna Nadia.

"Makasih, Nad," ucap Arlan tulus.

Gadis itu mengangguk. Senyumnya belum menghilang sedikit pun.

"Sama-sama."

* * *

"What?!"

"Gue nggak bisa, Ra."

The Innocent WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang