"Kamu mau berhenti?"
Nayra mengangguk. Mengabaikan tatapan terkejut yang Davin lemparkan, perempuan itu malah meletakkan selembar amplop berisi surat pengunduran diri.
"Kenapa? Disuruh suami kamu?"
Awalnya Nayra mau berbohong, tetapi tak ada guna. Jadi, gadis berpakaian ketat itu mengangguk cepat. Berusaha keras mengabaikan pandangan kecewa di mata Davin-mantan kekasihnya.
"Kamu nggak bisa nolak, gitu?" Suara Davin terdengar lirih, juga terselip nada tak suka. "Baru beberapa hari jadi suami udah berani melarang ini itu."
Nayra tersenyum tidak enak. "Maaf, ya, Vin," ucapnya.
Percakapan mereka kali ini lebih bersifat pribadi, bukan antara karyawan dan atasan. Di saat Davin tidak ragu-ragu meninggalkan sikap formalnya, Nayra juga melakukan hal yang sama. Kapan lagi ia bisa berbincang lama seperti ini bersama Davin? Jika ia berhenti, Nayra yakin kesempatan mereka bertemu akan sangat tipis.
"Kamu udah janji nggak akan berhenti, Nayra. Masa kamu ingkari gitu aja," kejar Davin tak terima.
Mungkin Nayra hanyalah sebatas mantan, tetapi rasa sayang Davin terhadapnya sangat besar. Mendapati perempuan itu mengundurkan diri dari perusahaan-yang artinya menjauh dari hidupnya-Davin tak kuasa menahan rasa sedih. Ia belum siap berjauhan dari Nayra.
"Sekali lagi maaf, Vin. Maaf kalau keputusan aku bikin kamu kecewa."
Nayra sudah memutuskan untuk melupakan sikap angkuhnya jika berhadapan dengan Davin. Apalagi ia akan berhenti kerja, setidaknya harus meninggalkan kesan baik. Lagipula, meskipun ia dan Davin berpisah, sejujurnya ini semua bukan keinginan pria itu. Davin hanyalah lelaki penurut-yang selalu mengikuti kehendak orang tua-dan tidak punya pilihan selain memutuskan hubungan mereka.
Bisa dibilang, perpisahannya dengan Davin adalah moment tersedih bagi Nayra. Hubungan mereka terputus karena terpaksa. Di saat kedua-duanya masih mencinta, keadaanlah yang membuat Davin dan Nayra terpisah.
Selama ini pun, Nayra merasa bodoh karena sempat menaruh rasa benci kepada Davin hanya karena pria itu memutuskannya. Ia tidak pernah sadar kalau lelaki itu hanya mencintai dirinya. Bahkan, walaupun sudah bertunangan, perhatian Davin tak pernah padam. Ia memperlakukan Nayra sama seperti waktu mereka berpacaran. Davin begitu lembut, penyayang dan rela melakukan apa pun yang Nayra minta.
Nayra saja yang terlalu gengsi, dibutakan rasa benci dan tak sekali pun berpikir realistis. Ia hanya tenggelam dalam ego sendiri, menyalahkan Davin terus-menerus dan memperlakukannya seperti seorang pengkhianat sejati.
Rasanya Nayra ingin menangis saat mengingatnya. Betapa kejam ia mengabaikan Davin dan terus saja menyumpahi pria itu pada setiap kesempatan. Jika Davin meminta putus karena desakan orang tua itu suatu keegoisan, maka Nayra lebih egois. Ia terlalu memikirkan diri sendiri, tanpa sekali pun memperhatikan keadaan dari sudut pandang Davin.
Juga, lihatlah tatapan yang Davin tunjukkan sekarang. Sejenis tatapan sedih, kecewa, tak rela, tak berdaya, semuanya bercampur aduk di sana. Belum lagi gurat wajahnya tertekuk penuh kesedihan, membuat Nayra merasa bersalah.
"Ya udah, kalau itu emang keputusan kamu, aku akan menghargainya." Davin berujar lembut, senyumnya mengembang indah.
Nayra sendiri langsung terdiam. Tanggapan Davin yang seperti ini sungguh tak disangka olehnya. Nayra pikir, Davin akan marah-marah, menyebutnya sebagai orang ingkar janji atau sejenisnya, tapi ... laki-laki ini malah tersenyum.
Oke, Davin memang tersenyum. Namun, meskipun senyum itu selebar ranjang pasien di rumah sakit, entah kenapa Nayra bisa melihat senyum itu bukan jenis senyum bahagia. Senyum Davin terlihat aneh dan tak mengenakkan. Terlalu dipaksakan.
![](https://img.wattpad.com/cover/182875751-288-k873515.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Innocent Wife
RomanceMahesa Arlanzio adalah seorang dokter muda yang sangat menyayangi ibunya. Apa pun permintaan sang ibu, Arlan akan selalu mengabulkan. Jadi, ketika ibunya meminta ia menikah dengan Anayra Lusiana, tanpa berpikir panjang Arlan langsung mengiyakan. Nam...