Bagian 21

7.6K 353 26
                                    

Pasangan suami istri itu saling menatap. Satu melempar pandangan kecewa, dan satunya lagi menghunus tatapan tajam.

Hening menyelimuti keduanya. Nadia yang masih berdiri di sisi Arlan tampak merasa canggung dan perlahan-lahan undur diri sebagai saksi pertengkaran. Nadia memilih pergi, selain karena tak ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga orang, ia juga tidak mau perasaannya terombang-ambing saat melihat Arlan.

Nadia menjauhi Arlan untuk menata hatinya yang terlanjur retak. Bukan memusuhi, tapi berusaha menerima kenyataan. Dan itu butuh waktu, entah sampai kapan. Yang jelas, kalau Nadia sudah siap, ia pasti akan kembali seperti Nadia yang dulu.

Kepergian Nadia tidak mempengaruhi pengantin baru yang masih bersitegang. Malah, situasi semakin memanas tanpa mereka saling berbicara. Arlan kesal setengah mati dengan Nayra yang tanpa sadar sudah mempermalukan dirinya, sedangkan Nayra tiba-tiba saja marah karena Arlan membandingkan dirinya dengan orang lain.

"Kenapa harus bawa-bawa Nayna?" Perempuan itu bertanya, hampir mendesis geram. Sudah beberapa hari dilalui tanpa saudara kembarnya dan Nayra merasa bahagia, Arlan malah seenaknya mengacau.

"Kenapa? Kamu nggak suka?" Arlan tidak menyadari wajah Nayra yang mendung, tapi terus saja menantang. "Saya ngomong kenyataan. Nayna jauh lebih baik dibanding kamu. Dia nggak pernah mempermalukan orang lain, berbeda sama kamu, Nayra."

Nayra tersenyum sinis. "Terus lo mau apa sekarang? Cerai? Silakan. Gue siap digugat. Kalaupun lo nggak mau repot, gue bisa gugat lo duluan!" serunya.

"Semudah itu kamu bilang cerai," desis Arlan marah. Ia maju beberapa langkah hingga berhadapan langsung dengan istrinya. Ujung sepatu pun sampai bersentuhan saking dekatnya posisi mereka.

"Kamu pikir saya mau nikah sama kamu, Nayra?" Arlan menggeleng pelan. "Saya melakukan ini demi mama saya. Beliau ngotot ingin saya menikahi kamu. Terkadang saya juga bingung apa yang beliau lihat di diri kamu."

Nayra bungkam. Menunggu kelanjutan kalimat Arlan sambil menahan amarah.

Arlan menatapnya naik turun, lantas mundur satu langkah—menciptakan jarak. "Padahal sebenarnya nggak ada yang bisa dibanggakan dari kamu, tapi mama saya masih bersikeras memaksa. Saya heran sekali. Jika memang mau menjodohkan, seharusnya beliau menjodohkan saya dengan Nayna, bukannya kamu."

Nayra mulai terpancing. Lihat saja sebelah tangannya yang terkepal dan matanya berkilat tajam. "Jangan bawa-bawa saudara kembar gue, Arlan. Gue peringatin sama lo," ucapnya.

"Kenapa?" Arlan malah semakin menantang. "Kamu marah karena saya membandingkan kamu sama dia? Kenapa kamu nggak bisa menerima kenyataan kalau Nayna memang seribu kali lipat lebih baik dibanding kamu?"

"Lo nggak ada hak menghina gue kayak gini," balas Nayra sengit.

"Menghina? Saya nggak menghina." Arlan menggeleng, lalu memandang istrinya penuh ejekan. "Di saat Nayna bersikap baik, kamu masih aja benci sama dia. Bersikap keras, melempar ucapan kasar, Nayna udah menceritakan semuanya kepada saya. Saya emang nggak tahu ada masalah apa di antara kalian berdua. Tapi, sikap kamu ke dia sangat keterlaluan."

"Jadi?" Nayra mengangkat alis tinggi-tinggi. Ekspresi wajahnya datar.

"Nayna sampai menangis saat menceritakan sikap nggak bermoral kamu ke dia. Nayna terluka, tapi kamu nggak mau peduli. Kamu juga—"

"Stop!" Nayra mengangkat sebelah tangan ke udara. Menghentikan ucapan Arlan yang entah kenapa malah merambat ke mana-mana. "Sebenarnya lo mau apa? Lo marah karena gue mempermalukan lo di rumah sakit ini, atau lo emang sedang marahin gue soal Nayna?"

Arlan terdiam.

"Gue heran. Apa, sih, yang membuat orang-orang pada belain dia? Apa bagusnya Nayna di mata kalian semua?"

The Innocent WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang