Bagian 18

7K 306 4
                                    

"Selamat datang di rumah."

Seperti biasa, suara Arlan datar dan tidak bersahabat. Namun, kali ini Nayra sama sekali tak mempermasalahkannya. Perempuan itu masih menatap takjub ke arah rumah cantik di hadapan mereka. Matanya berbinar dan mulut Nayra menganga penuh kekaguman.

Rumah sederhana yang hanya terdiri dari satu lantai, tapi luar biasa indah. Bercat biru langit dan dihiasi banyak tanaman bunga di pekarangan. Belum lagi lingkungan sekitarnya yang bersih terawat, membuat rumah itu seolah kinclong di mata Nayra.

Arlan memperhatikan Nayra yang terpaku sejenak, lalu menggeleng pelan. Ia membuka pintu mobil dan segera turun dari sana. Langkahnya bergegas menuju bagasi dan meraih tiga koper dari dalam sana. Setelah itu, Arlan mengetuk kaca jendela mobil sebelah Nayra yang tertutup rapat.

"Mau sampai kapan kamu di situ?"

Suara Arlan tidak terdengar dari dalam mobil, tapi kalau melihat wajah suram yang lelaki itu tunjukkan, Nayra langsung mengerti. Setelah melepas sabuk pengaman yang membalut tubuhnya, Nayra melangkah turun-masih memandangi rumah barunya.

Ngomong-ngomong biru langit adalah warna kesukaan Nayra. Speaker musiknya berwarna biru langit, sprei, bantal, sandal jepit dan celana dalamnya pun juga warna biru langit. Setiap melihat benda-benda yang berwarna biru kesukaannya, maka Nayra akan selalu mematung takjub di tempat.

Arlan lagi-lagi menatap Nayra dan menaikkan satu alis. Tumben sekali gadis ini diam dan tak berceloteh. Mengabaikan tingkahnya yang aneh, Arlan segera menarik kopernya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Sedangkan Nayra sendiri menggeram pelan saat melihat punggung Arlan yang menjauh.

Berengsek! Membantu membawa kopernya pun pria itu tidak mau.

Nayra memandangi dua koper besar miliknya yang tergeletak di jalanan sambil mendengkus kesal. Setelah meraihnya di masing-masing tangan, Nayra berjalan terseok-seok mengikuti Arlan.

"Eh! Lo nggak ada niat bantuin gue, ya?!" pekik Nayra tak sabar.

Arlan yang baru saja mengeluarkan kunci pintu menoleh singkat, lalu menggeleng. "Salah siapa bawa barang banyak," ucapnya tenang.

"Ya setidaknya bantuin, dong. Gimana, sih? Cowok nggak berperikemanusiaan banget!" gerutu Nayra kesal.

"Bukannya di poin nomor dua kamu dijelasin kalau kita nggak boleh mencampuri urusan masing-masing?" Arlan membuka pintu lebar-lebar, lantas memandang istrinya yang kepayahan dengan tatapan datar menyebalkan. "Dua koper itu urusan kamu, jadi saya nggak akan ikut campur."

Nayra tidak sempat lagi protes karena pria itu sudah lebih dulu menyelonong masuk ke dalam rumah, meninggalkannya sendirian. Berbagai sumpah serapah langsung Nayra keluarkan saking kesalnya. Bagaimana bisa Arlan mengaitkan soal ini dengan peraturan nomor dua?

Memang tidak boleh mencampuri urusan masing-masing, tapi tidak begini juga, kali.

Dengan perasaan jengkel, Nayra menggeret dua kopernya sekuat tenaga. Ia sendiri tak menyangka kalau kopernya seberat ini. Padahal isinya tidak seberapa. Hanya pakaian, alat-alat mandi, alat make up, speaker musik, laptop, sepatu, sandal, selimut, boneka dan lain-lain.

Mereka kemudian saling berhadapan di ruang tamu. Arlan dengan wajah tenang, sementara Nayra tersengal-sengal mengatur napas. Mengabaikan tatapan Nayra yang menghunus tajam, Arlan malah berjalan menuju salah satu pintu kamar yang tertutup rapat.

"Kamar kamu di sini," ucapnya sambil mengetuk pintu kayu itu dengan jemarinya. Lalu, tangan Arlan berganti menunjuk pintu kamar lain yang juga tertutup. "Kamar saya di sana."

Kamar mereka berhadapan. Jaraknya mungkin hanya beberapa langkah, tapi tidak masalah. Asalkan tidak satu ranjang dengan Arlan sialan, maka Nayra sama sekali tak keberatan.

The Innocent WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang